Oleh : Wina Armada Sukardi
“Haus, haus Yah…” rintih anak pertama saya yang ketika itu berusia 6 atau 7, saat dia masih duduk di kelas 1 SD. Hari itu, hari kedua puasa, dia baru mulai belajar puasa penuh. Sehari sebelumnya dia cuma puasa setengah hari.
“Haus….haus, Bunda,” renggeknya beralih kepada ibunya alias isteri saya. Waktu itu di Jakarta siang hari memang sedang terasa begitu panas. Kami pun merasakan pula rasa dahaga.
Sebagai orang tua, tentu hati ini terasa pilu. Mana ada orang tua yang tidak kasihan melihat anak merintih-rintih kehausan mau minta minum. Sebaliknya, di sisi lain, kami harus melakukan sosialisasi berpuasa, sekaligus sebagai proses pelatihan. Maka, ada “pertempuran” dalam diri kami untuk membolehkannya berpuka puasa, atau memintanya terus bertahan tetap puasa sampai waktu berbuka puasa tiba.
Untuk mengalihkan dari rasa haus anak kami itu, kami sudah membelikan buku-buki cerita, dan bahkan play stasion , yang waktu itu sedang populer, agar sang anak dapat bermain di kamar yang ber-AC. Maksudnya selain menjadi sibuk juga tidak begitu terasa haus. Nyatanya, karena belum pernah mengalami sebelumnya, anak saya itu masih mengeluh haus terus. Hari ketiga dan keempat juga masih begitu.
Setiap keluarga pasti mempunyai kiat tersendiri bagaimana mengajarkan putra-putrinya berpuasa. Tak ada resep khusus yang berlaku sama untuk semua keluarga. Masing-masing keluarga punya cara dan karakter yang khas sendiri.
Ada keluarga yang berjanji dan memberikan hadiah kalau anak-anaknya berhasil bertahan puasa sampai batas buka puasa. Ada yang membiarkan terjadi proses alamiah. Kalau anak belum tahan, mau buka setengah hari atau sampai berapa saja batas kemampuanya berpuasa, diperbolehkan. Mereka percaya, melalui proses alamiah, jika sudah waktunya, pastilah dengan sendirinya anak kelak bakal mampu berpuasa full time.
Kami sendiri belum memiliki pengalaman apapun dalam “mendidik” anak berpuasa. Maklumlah ini anak pertama. Maka, sejujurnya, saat itu pun kami tidak memiliki gagasan bagaimana caranya. Kami juga tak tahu mau memilih opsi yang mana yang terbaik. Saya sendiri sudah lupa dulu bagaimana caranya orang tua kami mengajarkan kami untuk akhirnya anak-anaknya mampu berpuasa penuh dari pagi sampai magrib. Kala itu, seingat saya, tahu-tahu kami sudah mengikuti puasa penuh.
Diskusi dengan isteri soal ini tidak menghasilkan kesimpulan apa-apa. Bertanya-tanya ke saudara-saudara yang lebih berpengalaman juga tidak memperoleh petunjuk yang menyakinkan dan signifikan.
Selama ini tanpa terasa para orang tua, kendati pun tidak pernah menjelaskan dengan verbal kepada anak-anaknya, tapi pada umumnya mungkin merasa sudah menurunkan “ilmu” atau “pengetahuan” serta “rasanya” kepada anak-anak mereka kenapa harus tahan berpuasa. Disini para orang tua memandang dengan segenap contoh yang ada, nanti juga anak-anak bakal faham. Bakal mengerti. Dan bakal mampu menghayati puasa dan, karenanya menjadi kuat berpuasa dari subuh sampai magrib. Semua bakal tersosialisasi dengan sendirinya.
Sikap ini masih debatabel. Dengan cara itu ada yang berhasil, namun tak sedikit pula yang melahirkan generasi yang tidak begitu patuh ketika puasa. Mereka berpuasa karena faktor kebiasaan saja. Faktanya mereka rawan terganggu godaan. Kalau ada makanan yang menggiurkan mereka tanpa rasa bersalah mudah saja berbuka puasa.
Ketiadaan metode khusus,menyebabkan saya coba-coba. Semacam eksperimen saja. Kalau berhasil, alhamdullilah. Jika tidak berhasil, saya pikir, ya tidak ada ruginya.
Saya ajak anak kami untuk berdialog.
“Kamu masih haus,Mas?” tanya saya kepadanya. Kami memang memanggil anak pertama kami dengan sebutan “Mas” di depan sebutan namanya. Dalam bahasa Jawa “Mas” artinya sebutan untuk seorang kakak, atau orang yang umurnya lebih tua, atau yang dituakan. Anak saya ini anak pertama sehingga dia menjadi anak yang paling tua di keluarga kami,maka kami panggilnya dengan panggilan “Mas.” Ini lantaran bini saya berasal dari Jawa. Saya manut (ikut) saja.
“Iya Yah, masih haus nih,” jawab anak saya bersemangat. Dia memanggil saya “Ayah,” atau sering disingkat dengan hanya “Yah” saja.
“Mas, Ayah kasih tahu ya. Orang itu terdiri dari perut dan hati,” tutur saya.
Dia diam saja.
“Kalo orang jagoan, hatinya lebih hebat, lebih kuat dari perutnya,” tambah saya.
Anak saya tetap diam.
“Makanya kalau orang jagoan, orang hebat, waktu perutnya bilang lapar-lapar, tapi kalo hati orang jagoan bilang,”kuat, kuat,” laparnya gak kerasa!”
Anak saya bergeming.
“Buat orang hebat, hatinya lebih jago. Biar lapar kayak apa, kalau hatinya kuat, gak ngerasa lapar. Jadi pasti tahan.”
Sudah terlanjur memulai, saya melanjutkan.” Tapi kalau orang yang payah, yang pengecut dan tidak hebat, perutnya yang menang. Hatinya lemah, gak kuat. Jadinya mereka mentingin, gimana urusan perut aja. Jadi mereka gak kuat puasa.”
Anak saya mengangguk. Cuma saya meragukan dia faham yang saya maksud. Anak masih sekecil itu mengerti apa dia. Belum ada pengetahun apa-apa, apalagi punya wawasan. Daya nalarnya pun pastilah masih sangat terbatas. Saya amat sadar ikhwal ini. Cuma lantaran sudah terlanjur, saya tetap melanjutkan. Tapi saya hibur dulu.
“Puzzle kamu masih ada gak yang belum selesai disusun?” pancing saya.
Anak saya sejak kecil pengemar berat permainan puzzle. Dia dalam sekejap dapat menyusun berbagai kepingan puzzle yang berserakan. Setelah dia kelas 5 – 6 SD kemampuannya menyusun kembali puzzle sudah jauh melampaui saya. Sementara saya masih mencari-cari dimana sebuah kepingan puzzle diletakan, dia dengan mudah sudah dapat merampungkannya. Maka saya pancing dengan topik ini.
“Semua udah aku susun Yah.”
“Emang kamu udah bisa yang berapa?”
“Kalau yang 25 udah mulai cepat Yah. Aku mau coba yang 50!” katanya dengan mata berbinar-binar.
“Iya, kalau begitu kita sekarang ke Gramedia, beli baru yang 50. Mau gak?”
“Ayo Yah.”
“Tapi Ayah terusin dulu yang tadi bentar,” saya memanfaatkan celah ini.
Anak saya tak bereaksi.
“Tadi gimana Mas, antara hati dan perut?”
“Orang hebat hatinya menang lawan perut!” jawabnya mengejutkan saya. Sebenarnya saya tidak mengharap dia faham omongan saya, karena saya kira informasi itu bakal berguna kalau dia sudah besar.
“Hebat kamu!” puji saya. “Itu sama juga jiwa dan raga kalau sedang perang. Orang hebat, orang jagoan, jiwannya selalu menang. Raganya selalu kalah. Laper itu raga, hati itu jiwa. “
Saya sadar pernyataan saya semakin berat, semakin sulit dimengeri. Saya kira anak saya dapat semakin tak faham.
“Orang hebat, kalau puasa, biar lapar sekali, pasti kuat, karena jiwanya lebih kuat. Semua tergantung dari jiwa kita, bukan dari badan atau raga kita.”
Anak saya mulai gelisah. “Kalau anak Ayah sih hebat. Pasti jiwanya kuat. Hatinya hebat. Jiwanya _ngalahin- semuanya.”
Sebelum dia boring dan tambah tidak faham, saya hibur lagi. “Ayo kita berangkat. Berdua aja.”
Berangkalatlah kami ke Gramedia di Pondok Indah Mall (PIM) yang letaknya tak jauh dari rumah kami. Disana dia sibuk memilih beberapa puzzle. Sampai rumah dia langsung sibuk dengan kegemarannya. Lupa haus. Lupa lapar.
Sesuatu yang aneh pun terjadi. Saya tak tahu tepat mengapa terjadi, yang jelas sejak saat itu anak saya tidak pernah lagi mengeluh “haus..haus…” Dia melakoni puasa dari subuh sampai magrib dengan biasa-biasa saja. Kuat, tanpa keluhan apapun.
Pernah saya tanyakan kepadanya , beberapa tahun setelah kejadian itu, kok dia waktu puasa tidak haus atau tidak lapar, jawabannya sungguh di luar dugaaan kami.
“Aku kan orang hebat! Hati aku selalu menang. Jiwa aku juga selalu menang. Jadi haus dan lapar kalah!” katanya.
Bulan puasa bulan penuh rachmatan. Bulan penuh berkah. Penjelasan saya kepada anak yang sebenarnya merupakan penjelasan orang dewasa, dan sulit dicerna anak seusia anak saya kala itu, tapi pada bulan puasa, kuasa Allah berbicara.
Bulan puasa memberikan hikmah kepada kami. Memberikan berkah. Kemampuan berpikir anak saya untuk menyerap penjelasan saya dibuka Tuhan lebar-lebar. Tanpa saya tahu, seperti ada tuntunan atau bimbangan dari langit agar anak saya faham yang saya jelaskan. Pada bulan puasa anak saya diberi rahmat memahami materi penjelasan untuk orang dewasa. Ada semacam bimbingan dari langit, buat orang yang jiwanya yakin terhadap manfaat puasa, menahan lapar dan dahaga urusan dapat dilalui dengan mudah.
Filosofi itu bukan hanya membuat dia mampu berpuasa penuh, tetapi sekaligus mampu mengatasi berbagai berbagai “godaan” dalam berpuasa di kemudian hari. Saya punya keponakan dari pihak isteri, atau sepupu anak saya, yang bukan muslim, melainkan beragama nasrani.
Sebagai sesama saudara, mereka sangat akrab. Sepupuan ini sering menginap di rumah kami, di kamar anak saya itu, termasuk pada bulan puasa. Nah, waktu kami sahur, sepupunya ikut sahur. Tapi siang hari, karena dia tidak berpuasa, sepupunnya itu tetap makan siang.
Kala makan siang itu dia ditemani oleh anak saya. Selama sepupunya makan, tak memberi pengaruh apa-apa kepada anak saya. Dia begitu percaya, hati atau jiwa yang kuat, mengalahkan urusan perut.
Dampak perkembangan itu terus berlangsung sampai dia besar. Kalau teman-temannya yang non muslim mau makan siang pada bulan puasa, anak saya tak keberatan ikut “menami” mereka. Di depan anak saya, teman-temannya makan minum, namun sama sekali tidak berpengaruh kepada anak yang tetap terua berpuasa. Mereka ada juga yang minum dengan gelas memperlihatkan butir-butir air yang menyejukan. Anak saya sama sekaki tak tergoyahkan.
Selanjutnya buat anak-anak saya lainnya sudah tidak masalah. Mereka berorientasi kepada kakaknya paling besar, sehingga tanpa saya ajarin pun sudah mengikuti kakaknya.
Apakah sobat pernah pula punya pengalaman mengalami hikmah dan berkah pada bulan puasa?
Tabik.*