NANNING, 18 Mei (Xinhua) — “Museum adalah gudang harta kebudayaan bangsa dan merupakan platform penting untuk mengetahui kebudayaan etnis minoritas. Di Museum Kebangsaan Guangxi, saya bisa merasakan bagaimana kebudayaan dari berbagai etnis minoritas lokal berkembang dan berintegrasi,” ujar Sugiato Lim, seorang dosen asal Indonesia yang kini mengajar di China.
Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi terletak di China selatan yang berbatasan dengan Vietnam dan merupakan daerah setingkat provinsi dengan populasi etnis minoritas terbesar di China, yaitu lebih dari 20 juta jiwa. Guna melestarikan dan memamerkan kebudayaan dari etnis-etnis minoritas, Museum Kebangsaan Guangxi dibangun di Nanning, ibu kota Guangxi.
Museum tersebut memiliki lebih dari 50 ribu buah (set) benda koleksi seperti genderang kuno, pakaian dan sulaman tradisional serta alat-alat dari batu dan kayu. Sebanyak 345 buah genderang perunggu kuno yang dikoleksi oleh museum itu menjadikannya sebagai museum dengan koleksi genderang perunggu terbanyak dari segi jumlah maupun jenisnya di seluruh dunia. Sementara itu, lebih dari 18 ribu sulaman kuno disimpan dalam museum ini, meliputi sulaman dari etnis Zhuang, Han, Miao, Yao dan Mulao yang hidup di Guangxi dari generasi ke generasi.
Sugiato Lim berasal dari Muntok, Kabupaten Bangka Barat, dan lulus S3 dari Universitas Kebudayaan dan Bahasa Beijing. Sesudah hidup di China selama 10 tahun, Lim pernah mengunjungi banyak kota dan wilayah di China. Sejak Agustus 2021, dia resmi bekerja di Universitas Kebangsaan Guangxi sebagai dosen di Jurusan Bahasa Indonesia.
Karena tertarik pada kebudayaan etnis-etnis yang berbeda, Lim dengan rekannya Meli yang berasal dari Jawa Barat datang ke Museum Kebangsaan Guangxi untuk menyelami budaya dan adat istiadat etnis minoritas di Guangxi.
“Alangkah banyaknya koleksi di sini! Selain kostum suku-suku, terdapat juga benda arsitek, alat musik dan benda kehidupan sehari-hari. Kita bisa mengetahui budaya etnis minoritas China dengan baik di sini,” kata Lim.
Beberapa benda koleksi di museum ini mengingatkan Lim tentang pengalamannya saat berkunjung ke Kota Guilin pada 2013. Guilin adalah kota yang terkenal dengan pemandangan indahnya dan suasana kebudayaan etnis Zhuang yang sangat unik. “Saya menonton pertunjukkan Liu Sanjie (seorang wanita legendaris yang pandai menyanyi) dan menikmati pemandangan di Sungai Lijiang dan Bukit Hidung Gajah. Saya juga sangat suka hidangan bihun Laoyou dan bihun Luosifen yang khas di Guangxi,” ujar Lim.
Busana dari berbagai suku yang dipamerkan di museum ini membuat Lim terpikat. Lim mengatakan bahwa dari pakaian-pakaian yang berbeda itu, dia merasakan keberagaman etnis di Guangxi. Walaupun berbeda satu sama lain, warga dari suku yang berbeda itu dapat saling menghormati dan hidup dengan harmonis.
Selain itu, ukiran kayu di museum tersebut juga membuat Lim terkesan. Beberapa ukiran kayu itu bergaya mirip dengan ukiran kayu di Indonesia, sehingga Lim merasa seperti pulang ke tanah air.
Di area pameran genderang perunggu, Lim dan Meli mengamati genderang itu dengan sangat serius. ” Di negara saya juga ada genderang serupa, bahkan motifnya juga mirip, seperti katak dan matahari,” Menurut Lim, Guangxi adalah tempat yang sangat inklusif, warga dari suku-suku berbeda dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Warga dari luar negeri pun hidup berdampingan dengan damai dan bahagia seperti satu keluarga.
China dan Indonesia memiliki persahabatan yang terjalin sudah sangat lama. Guangxi sebagai koridor penting yang menghubungkan China dan ASEAN, menikmati kerja sama yang semakin erat dalam beberapa tahun terakhir dengan Indonesia di bidang perdagangan dan kebudayaan. Hal itu dirasakan langsung oleh Meli yang sudah hidup di China selama 16 tahun dan menikah dengan seorang pria China.
Meli mengatakan, “Cuaca Guangxi mirip dengan Indonesia, jadi terdapat bunga kertas (bougenville) dan asinan di sini yang hampir sama dengan yang saya temui di Indonesia. Setiap kali saya memakan kencur di kantin, saya merasa seperti berada di tanah air. Kehidupan di Guangxi sangat nyaman, banyak siswa saya yang berasal dari etnis minoritas. Kita dapat hidup berdampingan dengan sangat rukun.”
Menurut Meli, kebudayaan etnis minoritas juga tercerminkan di sejumlah lanskap manusia lokal. Meli dan Lim tertarik pada lukisan kuno di Tebing Huashan, motif di lukisan bebatuan itu meliputi manusia, nekara perunggu, matahari dan sebagainya. Lukisan di atas batu itu masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO dan menjadi yang pertama dari jenisnya di China yang masuk daftar warisan tersebut.
“Walaupun memiliki sejarah lebih dari 2 ribu tahun, kebanyakan motif di lukisan batu itu masih jelas dan warnanya tetap cerah. Saya penasaran bagaimana cara membuatnya, saya ingin berkunjung ke tempat asalnya,” ujar Meli.
Meli mengatakan terdapat banyak gambar nekara perunggu di lukisan batu itu dan lukisannya menunjukkan suasana kehidupan leluhur warga etnis Zhuang. Gambar manusia di lukisan tersebut ada yang mengangkat tangan seperti sedang melakukan latihan militer, ada yang melompat seperti sedang berpesta dan menari, demikian dikatakan Meli.
“Di museum kebangsaan ini, saya melihat kebudayaan dari etnis-etnis yang berbeda di China tetapi tetap harmonis. Jika ada kesempatan, saya ingin ke berbagai tempat di China dan menghayati kehidupan suku-suku itu, serta merasakan betapa mendalam dan beragamnya budaya China,” kata Meli. [Xinhua]