WARTABUANA – Christine Hakim memang sangat berhati-hati dan selektif untuk menerima sebuah peran dalam film. Pertimbangannya, bukan hanya masalah kontrak, karena itu urusan manajemennya, tapi lebih pada mengenai ceritanya. Jika sebuah film yang disodorkan memiliki cerita bagus dan logis alurnya tentu ia akan menerimanya.
Kini, ia menerima peran dalam film `Silet di Belantara Digoel Papua` karena berangkat dari niat baik, temanya menarik, ceritanya dan alur ceritanya bagus yang diangkat dari kisah nyata dokter yang menantang maut melakukan operasi sesar dengan silet di belantara Digoel Papua sekitar tahun 1990-an.
“Awalnya saya melihat temanya dulu. Biasanya saya ada banyak pertanyaan dan pertimbangan. Bisa dibilang selektif lah. Tapi saya juga heran kalau film ini kok tidak (selektif),” ujar Christine Hakim, saat jumpa pers di rumah Christine Hakim, Cibubur, Jakarta Timur, Kamis (4/2/2016) malam.
Lebih lanjut, Christine menerangkan, ini tema yang nggak mungkin saya bisa tolak. Apalagi visi, misi, dan semangatnya sejalan.
Christine ini ingin mengenalkan kepada masyarakat, bahwa Papua pun memiliki potensi besar dalam dunia perfilman.
“Ini bisa dibilang film pertama produksi asli Papua. Saya ingin bersilaturahmi dengan saudara kita di Papua. Kita pasti mencintai pulau yang luar biasa itu. Dan kita ingin tunjukkan kalau Papua memiliki potensi yang sangat besar dari segala lini, termasuk perfilman,” pujinya.
Dalam film produksi Foromoko Matoa Indah Film dengan arahan sutradara FX Purnomo, aktris kelahiran Kuala Tungkal, Jambi, 25 Desember 1956 yang banyak meraih Piala Citra dan penerima Lifetime Achievement SCTV Awards 2002 ini berperan sebagai ibu dari seorang dokter.
“Dokter pulangnya malam, tapi paginya harus pergi berangkat tugas karena ada pasien yang gawat darurat. Ketika sang dokter pulang kembali untuk mengambil obat di rumah. Nah, disitulah sang ibu memberi nasehat sambil mendoakan agar sang dokter dapat bertugas dengan baik, “ ungkapnya.
Selain berakting, Christine juga siap menjadi Duta Film `Silet di Belantara Digoel Papua`. “Ya, saya siap,” ucapnya mantap.
Terpilihnya Christine membintangi film tersebut tampaknya layar memiliki kesan tersendiri bagi dirinya. Banyak keinginan yang ingin ia wujudkan, salah satunya, yaitu membuat sebuah pagelaran festival film yang diadakan di Papua.
“Saya mengusulkan dengan teman-teman di Papua, bukannya tidak mungkin, bikinlah festival film dokumenter di Papua yang sifatnya internasional. Pasti saya yakin banyak sekali peminatnya. Karena Papua itu seperti anak perawan yang seksi, yang pasti menarik banyak perhatian,” pintanya.
Christine tak habis-habisnya memuji keindahan pulau Papua yang terletak di ujung timur Indonesia tersebut. “Saya kira semua yang sudah pernah ke Papua pasti sangat mencintai pulau yang luar biasa ini, keindahannya, kekayaannya, budayanya, masyarakatnya. Jadi, saya sendiri selalu mencari-cari sebetulnya kesempatan kapan ya saya bisa kembali ke Papua lagi,” katanya.
Sutradara FX Purnomo membeberkan tantangan dalam proses shooting-nya yaitu kondisi alam Papua yang cukup susah untuk dijangkau.
“Team Produksi Film `Silet di Belantara Digoel Papua` akan melakukan perjalanan dari kabupaten Merauke ke kabupaten Boven Digoel yang ditempuh dengan perjalanan darat selama 10 jam. Lokasi shooting-nya menggunakan set artistik yang riil dengan tempat kejadian di tahun 90-an, yaitu berupa puskesmas yang dulu digunakan untuk operasi sesar menggunakan silet,” ucap sutradara yang akrab dipanggil Ipong ini.
John Manangsang sebagai pelaku sejarah, membeberkan manfaatnya produksi film tersebut yang mengangkat kejadian itu 25 tahun yang lalu untuk hari ini dan masa depan. Fakta membuktikan dari 25 tahun lalu dengan tahun sekarang, bahwa di Papua angka kematian ibu dan bayi sekarang semakin tinggi dan menduduki rangking nomer satu di Indonesia.
“Padahal, kalau kita lihat jaman dulu, tenaga dokter spesial ibu dan anak belum banyak di Papua di satu propinsi bisa dihitung dengan jari hanya satu-dua dokter. Sekarang di tiap kabupten ada satu hingga empat dokter. Rumah sakit sekarang ada dimana-mana, “ terang John Manangsang.
“Memang kisah nyata dalam buku yang diangkat jadi film ini menceritakan pergumulan dan perjuangan dokter muda yang ditempatkan di puskesmas pedalaman Papua, yang berupaya menyelamatkan dua nyawa, yakni ibu dan bayinya. Pertaruhan yang luar biasa. Bukan hanya hidup mati pada pasiennya, tapi juga hidup mati dokternya karena kondisi hutan dengan tidak ada bius untuk operasi, peralatan terbatas, tidak ada tenaga dokter yang memadai jadi melakukan operasi sesar dengan memakai silet, “ ungkapnya mengenang.
“Film ini menunjukkan bagaimana kita dokter Papua berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan ibu melahirkan, “ tegasnya. []