JAKARTA, WB – Studi malware terbaru berjudul “Cybersecurity Risks from Non-Genuine Software” dari Fakultas Teknik National University of Singapore (NUS) mencatat 92 persen perangkat komputer dan laptop yang menggunakan software palsu terinfeksi malware.
Studi yang diprakarsai oleh Microsoft ini diselesaikan pada bulan Juni 2017 dan mencakup wilayah Asia Pasifik, dengan fokus pada risiko infeksi malware pada perangkat lunak dari penggunaan perangkat lunak bajakan serta eksploitasi aktif oleh penjahat siber dari malware tersebut.
Keshav S. Dhakad, Assistant General Counsel, Digital Crime Unit, Microsoft Asia menyebutkan, malware yang menyerang komputer pengguna sofware ilegal itu berasal dari CD/DVD bajakan, produk sofware & sistem operasi bajakan.
“Sebanyak 61% DVD/CD bajakan terinfeksi walware, produk sofware bajakan 42% terjangkit malware, sistem operasi ilegal 29 % terjangkit malware, game and apps 19%, dan bahkan sofware antivirus bajakan juga suah terinfeksi malware 17%,” kata Keshav dalam sosialisasi kekayaan intelektual yang diselenggarakan MIAP (Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan) di Jakarta, kemarin.
Keshav menjelaskan, saat ini interkoneksi melalui jaringan internet telah menjadi sebuah kebiasaan. Bahkan sudah menjadi kebutuhan dan keharusan seperti transformasi digital dari bisnis, menjaga keterikatan dengan customer, pengembangan SDM, peningkatan sistem operasi. “Tetapi semua itu butuh security,” katanya.
Namun, lanjutnya, masih banyak yang belum paham dengan teknik serangan dari penjahat cyber baik melalui email, serangan trojan, pembentukan banckdoor, transaksi bitcoin, dan lain-lain.
Mencermati temuan tersebut, Ketua MIAP Justisiari P. Kusumah mengatakan, risiko besar bagi Indonesia yang notabene pengguna internet terbesar ke 4 di dunia, adalah serangan terhadap data nasabah, seperti yang saat ini tengah ditangani pihak Bareskrim Polri.
“Itu baru jual beli data nasabah, bagaimana kalau pelaksanaan transaksi juga bisa di-hack melalui infeksi malware? Ini bisa mengancam jaringan industri keuangan,” tegas Justisiari di kesempatan yang sama.
Dia menyebutkan, dari studi yang sama kerugian dan bahaya, baik di tingkat konsumen atau pada bisnis dan kantor pemerintah sangat besar dan fatal, terbukti dengan berbagai penelitian kasus pelanggaran data secara global.
“Studi juga menunjukkan bahwa biaya untuk berinvestasi pada program perangkat lunak asli dan terbaru jauh lebih rendah dibandingkan dengan kerugian aktual yang dialami karena pencurian data rahasia dan informasi pribadi,” katanya.
Sementara, Brigjen Pol Agung Setya, Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, mematikan kerugian akibat penggunaan sofware ilegal mencapai triliunan rupiah.
“Semua yang menggunakan software palsu pasti rugi. Misalnya harga sofware palsu 500 ribu, yang asli 1,5 juta. Memang murah yang palsu tetapi banyak hal tidak bisa sinkron dengan aplikasi yang kita perlu dan menjadi tidak optimal saat digunakan,” katanya di kesempatan yang sama.
Belum lagi data dalam perangkat dicuri, seperti kasus yang sedang ditangani Bareskrim saat ini. “Ketika malware masuk ke sistem, lalu membekukan sistem, kemudian dibuat backdoor, bisa semaunya. Kemudian meminta tebusan. Kita rugi dobel-dobel. Kalau kita hitung secara total bisa triliunan,” jelas Agung.
Untuk itu, lanjutnya, bersama MIAP dan kementrian terkait, Agung menjelaskan pihaknya akan fokus dalam menangani kasus software ilegal ini. “Dengan kekuatan legal yang kita punya, kita akan terus mencari, temukan, dan kita pukul keras kejahatan cyber ini,” paparnya.
Tetapi masyarakat juga harus paham dengan tidak menggunakan sofware palsu. Selain itu juga melaporkan jika dirugikan. “Kami bergerak setelah ada aduan, kemudian diberi kesempatan mediasi untuk berdamai. Nah dalam hal ini salah satu poinnya adalah tarik semua produk palsu. Dari situ kita tau jaringan bisnisnya,” katanya.
Agung menambahkan, sejak 2015 hinga kini pihaknya menerima 9 kasus sofware ilegal. Dan tujuh laporan diselesaikan melalui mediasi.
Di Indonesia, undang-undang dan peraturan yang berlaku telah memberlakukan sanksi tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar hak kekayaan intelektual. Pasal 113 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menjatuhkan sanksi pidana berat berupa hukuman penjara maksimal 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 bagi pihak –pihak yang melanggar hak ekonomi pencipta dengan melakukan penggandaan, pengkomunikasian dan distribusi ciptaan secara tanpa hak dan tanpa izin untuk digunaan secara komersial.
“Ancaman ini saya kritisi, karena saya melihat seperti di imigrasi itu terlalu berat. Kadang karena berat mereka lalai dan melakukan penyimpangan. Denda ini harus dihitung lagi. Ada yang diterapkan denda kecil untuk pedagang kecil, tetapi kesalahannya besar. Terlalu gampang membuat ancaman,” kata Aidir Amin Daud, Plt Dirjen Kekayaan Intelektual.
Namun, dia tetap sepakat atas denda tersebut oleh karena besarnya risiko penggunaan sofware ilegal, seperti pencurian data, dll. Kami berharap MIAP gencar melakukan sosialisasi, kita juga lakukan di mall, bandara, car free day. Dan hasil survey itu jadi peringatan buat kita yang punya sofware ilegal,” tandasnya. []