Meskipun tarif mungkin secara politis menarik bagi Washington, kebijakan ini dapat memicu siklus pembalasan.
SARAJEVO, 23 Februari (Xinhua) — Kebijakan proteksionis yang makin sering dilancarkan Washington, dengan didasarkan pada logika menang-kalah (zero-sum), berisiko mengacaukan tatanan ekonomi global dan memperdalam tekanan resesi, kata seorang pakar.
Agenda pemerintahan Trump yang berfokus pada kebijakan tarif, yang mengutamakan keuntungan domestik jangka pendek, berisiko merusak rantai pasokan internasional dan melemahkan institusi-institusi multilateral, ujar Vlade Simovic, profesor di Fakultas Ilmu Politik Universitas Banja Luka di Bosnia dan Herzegovina.
Dalam sesi wawancara dengan Xinhua, Simovic menggambarkan langkah pemerintahan Trump untuk menghidupkan kembali tarif tinggi sebagai kembalinya prinsip merkantilisme.
Di saat Washington berupaya mengembalikan produksi manufaktur ke dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor, pendekatan ini mengabaikan realitas globalisasi, tutur Simovic.
Meskipun tarif mungkin secara politis menarik bagi Washington, pakar tersebut memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat memicu siklus pembalasan.
“Perekonomian modern berkembang melalui saling ketergantungan. Gangguan terhadap keseimbangan ini berisiko menyebabkan inflasi, kekacauan rantai pasokan, dan runtuhnya kerangka kerja multilateral,” lanjut Simovic.
Unilateralisme Amerika Serikat (AS) memperlemah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dengan Washington lebih mengutamakan kesepakatan bilateral daripada aturan multilateral, ungkap Simovic. “WTO semakin tidak relevan bagi AS yang menetapkan aturan mainnya sendiri.”
Deretan peristiwa dalam sejarah terkait proteksionisme pun patut dipertimbangkan. Proteksionisme pada 1930-an memperburuk Depresi Besar (Great Depression), imbuhnya.
Simovic mengatakan bahwa Uni Eropa, sebagai mitra dagang utama AS, menghadapi kerentanan akut akibat ancaman tarif AS terhadap komoditas baja, aluminium, dan industri otomotif, yang menimbulkan risiko bagi stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi Eropa.
Masyarakat internasional harus memprioritaskan reformasi inklusif untuk mencegah krisis yang sebenarnya bisa dihindari, krisis di mana kemenangan politik jangka pendek justru membuka jalan bagi kerugian kolektif jangka panjang, kata Simovic. Selesai