HAJJAH – Di Yaman, Salvadora Persica atau pohon siwak, yang dikenal sebagai pohon sikat gigi, tersebar di sepanjang dataran pesisir Laut Merah yang panas dan kering. Banyak warga di sana menggunakan akar pohon itu untuk membersihkan gigi dan ribuan keluarga coba menjualnya sebagai sumber pendapatan, bahkan sejak sebelum perang saudara.
Yaman terperosok ke dalam perang saudara sejak akhir 2014 ketika pihak pemberontak Houthi merebut kendali beberapa kota di utara dan memaksa pemerintah yang diakui internasional hengkang dari ibu kota Sanaa, sehingga menghancurkan perekonomian negara dan mendorong jutaan orang ke ambang kelaparan.
“Kami bekerja berjam-jam mengumpulkan segenggam akar (pohon siwak). Kami pertama-tama mencari akar yang bagus di dekat permukaan, lalu kami menggali lubang yang lebar sedalam sekitar satu meter di bawah pohon tersebut. Pada akhirnya, kami menjual akar itu ke toko dan penjual kaki lima,” tutur Naif Abdo Al-Jaidi, seorang warga Distrik Midi di Provinsi Hajjah, Yaman utara, kepada Xinhua.
“Bisnis kami berkembang dalam beberapa tahun sebelum perang. Namun, perang menghancurkan segalanya, memaksa kami mengungsi dari rumah beberapa kali dan menyebabkan ditutupnya banyak pasar dan jalanan di dalam kota maupun antarkota,” ujar Al-Jaidi.
“Perang telah mengubah hidup kami menjadi seperti di neraka,” imbuhnya.
Al-Jaidi, beberapa saudara laki-lakinya, dan keluarga mereka mulai bekerja di pagi atau sore hari untuk menghindari sengatan panas matahari, yang bisa mencapai 40 derajat Celsius saat tengah hari.
Mereka memotong akar-akar yang terlihat seperti ranting yang ramping berbentuk tongkat dan memiliki kulit kayu lembap beraroma harum, sebelum menutup kembali lubang dengan tanah dan membiarkan pohon tersebut terus tumbuh. Mereka kemudian mengupas kulit akar itu menjadi batang-batang pendek dan membentuk bagian ujung menjadi sikat. Sikat gigi alami yang disebut Miswak di Yaman itu kini telah siap untuk dijual.
Abdo Bari (55) juga berjuang mengumpulkan akar-akar itu untuk dijual demi membeli makanan bagi keluarganya.
“Kami mengumpulkan beberapa akar saja sekarang dan sangat sulit untuk menjualnya. Bisnis ini tidak lagi menguntungkan setelah perang berkecamuk, yang mengakibatkan harga bahan bakar dan ongkos transportasi melonjak, serta banyak pasar dan jalan utama antarkota ditutup … Situasi menjadi teramat sulit,” kata Bari. [Xinhua]