Orang-orang mengikuti unjuk rasa “Stop Asian Hate” yang digelar di San Jose, California, Amerika Serikat, pada 25 April 2021. (Xinhua/Dong Xudong)
Amerika Serikat bukan hanya negara para imigran, melainkan juga negara xenofobia; setiap kelompok baru, baik dari Asia, Eropa, maupun Amerika Latin, harus menanggungnya dan menjadi kambing hitam dalam setiap masalah ekonomi atau sosial yang melanda negara ini.
NEW YORK CITY, 20 Maret (Xinhua) — Dua tahun berlalu sejak insiden penembakan massal di Atlanta yang menggemparkan Amerika Serikat (AS) dan mendorong hal yang sudah diketahui oleh banyak warga Asia-Amerika menjadi isu nasional, seperti mereka tidak kebal terhadap rasisme, dan mereka menjadi sasaran dalam gelombang kejahatan kebencian yang meningkat bersamaan dengan pandemi COVID, demikian dilaporkan surat kabar San Francisco Chronicle pada Minggu (19/3).
Stereotipe berbahaya dari insiden penembakan massal di Atlanta itu merupakan “akar dari rasisme yang ditujukan kepada warga Asia-Amerika, yang jauh lebih dalam ketimbang konspirasi virus corona yang dipicu oleh fanatisme yang dikompori oleh Donald Trump saat dirinya menjabat sebagai presiden,” sebut laporan itu.
Enam wanita Asia-Amerika termasuk di antara delapan orang yang tewas dalam insiden penembakan di tiga spa yang berlokasi di Atlanta dan sekitarnya. Robert Aaron Long, yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas empat pembunuhan itu, memiliki pandangan misoginis dan rasisme yang mengobjektifikasi wanita Asia, yang tampaknya ikut andil dalam aksinya melakukan aksi penembakan brutal, menurut laporan itu.
“AS bukan hanya negara para imigran, melainkan juga negara xenofobia; setiap kelompok baru, baik dari Asia, Eropa, maupun Amerika Latin, harus menanggungnya dan menjadi kambing hitam dalam setiap masalah ekonomi atau sosial yang melanda negara ini,” sebut laporan itu.
“Apakah negara kita sudah bertindak untuk mengatasi kebencian terhadap warga Asia sejak pembantaian di Atlanta?” Data mengatakan tidak, kata laporan itu.
Kelompok advokasi Stop AAPI Hate mulai melacak insiden-insiden yang terjadi pada Maret 2020, dan hingga Maret 2022, pihaknya telah menerima 11.500 laporan pribadi terkait pelecehan dan serangan fisik.
“Kebencian anti-Asia belum surut, dan itu tampaknya tidak terlalu mengganggu kepemimpinan dan elektorat politik negara ini,” ujar laporan tersebut.
“Selama kita masih mengizinkan para pejabat terpilih untuk memakai pengaruh mereka yang sangat besar dalam melontarkan retorika rasial, mengkambinghitamkan komunitas kita atau komunitas lain dengan impunitas, ini akan terus berlanjut,” ujar Cynthia Choi, salah satu pendiri Stop AAPI Hate, seperti dikutip laporan tersebut. “Jadi, kita perlu mengemukakannya di setiap kesempatan.” Selesai