URUMQI, Penandatanganan apa yang disebut Undang-Undang (UU) Pencegahan Kerja Paksa Uighur (Uyghur Forced Labor Prevention Act) oleh Amerika Serikat (AS) tidak memiliki dasar faktual ataupun hukum, demikian menurut para ahli dan praktisi hukum dalam sebuah simposium yang diadakan di Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut.
Simposium itu diselenggarakan pada Jumat (31/12) di Urumqi, ibu kota Daerah Otonom Uighur Xinjiang, dengan delapan ahli dan praktisi hukum di wilayah tersebut berpartisipasi dalam pertemuan itu. Para peserta simposium menuturkan bahwa apa yang disebut UU itu didasarkan pada disinformasi dan tujuan politik tertentu, dan hal tersebut merupakan fitnahan keji terhadap situasi hak asasi manusia di Xinjiang, pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan norma-norma dasar yang mengatur hubungan internasional, dan bentuk campur tangan yang brutal terkait urusan dalam negeri China.
Xinjiang selalu menjunjung tinggi prinsip yang memungkinkan warganya menjalani kehidupan yang lebih baik, dan menghormati serta melindungi hak pekerja dan kepentingan warga dari semua kelompok etnis di wilayah itu dengan sungguh-sungguh. Xinjiang juga telah memperkenalkan serangkaian kebijakan ketenagakerjaan, mendirikan sejumlah platform, dan menyediakan banyak peluang kerja, memungkinkan warga dari semua kelompok etnis mendapatkan penghidupan yang lebih baik lewat kerja keras mereka sendiri, papar Alimjan Amat, wakil presiden asosiasi pengacara di wilayah tersebut.
“Para pekerja dari semua kelompok etnis yang tinggal di Xinjiang dapat bekerja, memilih pekerjaan, dan memulai bisnis atas kemauan mereka sendiri, dan mencari nafkah lewat upaya mereka sendiri. Mereka tidak hanya menjadi tenaga kerja, tetapi juga pemilik dari hasil kerja keras mereka sendiri,” ujar Arkin Samsaq, associate professordi Fakultas Hukum Universitas Xinjiang.
“Apa yang disebut sebagai kerja paksa itu merupakan proposisi yang salah total,” imbuh Arkin Samsaq. [Xinhua]