NANCHANG – Ketika Ekrem Yazici menaiki kereta lambat dengan waktu tempuh 16 jam untuk pertama kalinya pada 2009 lalu dari Shanghai ke Jingdezhen, sebuah kota yang selalu ingin dikunjunginya, pria itu melihat kehidupan impiannya.
“Saya tiba sekitar pukul 04.00 dan menunggu matahari terbit. Ketika kota itu menggeliat bangun, sebuah pemandangan memukau terpampang di hadapan saya. Saya melihat seseorang melintas sambil memegang sebuah vas besar dengan motif warna biru-putih dan seorang lagi sedang mengangkut sejumlah porselen yang masih polos,” kenang seniman keramik asal Turki yang berusia 38 tahun itu.
“Porselen terlihat di setiap sudut kota ini, dan hampir semua orang di jalan melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan porselen. Jika Anda menyukai keramik, tempat ini bagaikan surga,” tuturnya.
Jingdezhen, sebuah kota kecil di pegunungan Provinsi Jiangxi, China timur, terkenal sebagai ibu kota porselen China. Di kancah dunia, kota tersebut identik dengan keramik China yang berkualitas.
Sejarah pembuatan keramik Jingdezhen telah berusia lebih dari 2.000 tahun. Perannya sebagai tempat pembuatan tembikar kerajaan dan resmi membuat teknik pembuatan porselen di kota tersebut menjadi yang paling maju dalam sejarah. Kini, kota tersebut menjadi rumah bagi lebih dari 8.300 perusahaan keramik dan lebih dari 9.800 praktisi keramik wiraswasta. Sekitar sepersepuluh dari populasi kota tersebut terlibat dalam bisnis yang berkaitan dengan keramik.
Yazici pertama kali mengenal Jingdezhen di Museum Istana Topkapi di Istanbul. Di sana, kata Jingdezhen terukir dalam huruf Mandarin pada porselen-porselen berwarna biru-putih, pola keramik China paling tipikal yang dikenal oleh kolektor seni luar negeri.
Sebagai mahasiswa universitas yang mengambil jurusan seni keramik di Turki saat itu, Yazici membuat keputusan berani setelah lulus kuliah, yakni pergi ke China. “Saat itu ada 10 mahasiswa di kelas saya dan sembilan di antaranya pergi ke negara-negara Eropa. Saya telah mempelajari banyak hal tentang keramik Barat, tetapi saya hampir tidak tahu sama sekali seperti apa seni keramik di tanah kelahirannya dan saya ingin mengisi kekosongan pengetahuan tersebut,” urainya.
Yazici segera pindah ke Jingdezhen setelah menuntaskan kursus bahasa di Shanghai.
Yazici memadukan pola Turki dengan porselen biru-putih khas China. “Sekitar 70 persen dari karya seni saya merupakan karya ‘yatim piatu’. Saya kerap mengunggah karya saya di WeChat dan orang-orang yang tertarik akan datang untuk membelinya,” kata pria tersebut. Karya “yatim piatu” atau orphan work merujuk pada karya yang tidak bisa diketahui siapa pemegang hak ciptanya.
Data statistik yang tidak lengkap menunjukkan bahwa di Jingdezhen kini ada lebih dari 5.000 seniman asing seperti Yazici. Setiap Oktober, ribuan praktisi dalam industri keramik menghadiri acara tahunan Pameran Keramik Internasional China Jingdezhen untuk mencari kerja sama dan inspirasi.
Edisi tahun ini, yang dijadwalkan berlangsung dari 18 hingga 22 Oktober, menarik lebih dari 800 perusahaan.
“Pameran keramik ini menjadi platform yang memamerkan berbagai benda pameran terbaru di Jingdezhen. Acara tersebut menghubungkan semua orang dalam industri ini dan menjadi kesempatan yang bagus bagi para wisatawan untuk mengenal Jingdezhen,” kata Yazici.
Seniman Prancis Camille Kami berpindah-pindah antara Belanda, Inggris, dan Swiss sebelum menetap di Jingdezhen pada 2015. “Bagaimana bisa ada sebuah kota tempat suatu industri hidup dengan sepenuh hati selama seribu tahun?” Dan dia pun langsung jatuh cinta pada Jingdezhen.
“Dahulu sulit bagi saya untuk menetap di satu tempat selama dua tahun, tetapi Jingdezhen benar-benar berbeda,” ujar perempuan itu. “Saya telah mengunjungi kota ini beberapa kali sebelum menetap dan setiap kali saya meninggalkan kota ini, rasanya seperti ada kekuatan yang menarik saya untuk kembali.”
Dilahirkan di sebuah kota kecil di Prancis selatan, Kami sekarang lancar berbicara bahasa Mandarin dan mengelola dua bengkel kerja (workshop) di Jingdezhen. Terkadang, Kami mengambil inspirasi dari kisah dongeng China, tetapi membumbuinya dengan imajinasi bergaya Prancis.
Seniman Jepang Ayao Takayanagi dan suaminya yang berasal dari China, Wen Minxiong, terobsesi dengan teknik kerajinan porselen China kuno Tenmoku.
Berasal dari Dinasti Song Selatan sekitar 900 tahun yang lalu, Tenmoku menggunakan glasir hitam besi dan glasir abu putih dalam membuat porselen, sehingga motif hitamnya muncul di permukaan setelah pembakaran.
Takayanagi sangat tertarik ketika dia melihat karya Tenmoku di sebuah museum di Jepang. “Anda dapat melihat bagaimana sinar dan bayangan saling berjalin di cangkir tersebut,” kenang Takayanagi.
Pada 2013, pasangan suami istri tersebut pindah ke Jingdezhen, yang mereka anggap sebagai “tempat terbaik untuk tembikar”.
“Menurut pandangan saya, terus berinovasi dengan tetap mengakar dalam kehidupan merupakan arah tujuan industri keramik ini,” tutur Wen, yang menambahkan bahwa Jingdezhen adalah tempat berbagai gagasan berpadu dan inspirasi tidak pernah surut.
“Jingdezhen menawarkan peluang bagi semua seniman internasional untuk mempelajari kebudayaan China, melakukan pertukaran di level internasional, serta mendapatkan manfaat dari pengalaman budaya satu sama lain,” kata seniman Inggris Guy Thompson.
Sebagian besar pembuat keramik asing di Jingdezhen bergantung pada internet untuk menjual karya seni mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, livestreaming juga menjadi industri yang berkembang di kota tersebut.
Di Taoxichuan, sebuah jalan raya yang menjadi pusat kesenian keramik, terdapat lebih dari 2.600 bengkel livestreaming di aplikasi berbagi video populer Douyin (Tiktok edisi China), dengan angka penjualan menembus 2 miliar yuan (1 yuan = Rp2.191) sampai dengan September tahun ini.
Dalam pameran keramik yang sedang berlangsung ini, sebuah toko online porselen Jingdezhen terkemuka juga diluncurkan di Taobao, platform e-commerce utama di China untuk membantu mendorong penjualan dan memperluas pasar.
“Toko ini menyatukan merek-merek keramik terkenal di Jingdezhen, yang sudah pasti akan menjadi pilihan pertama untuk membeli keramik asli Jingdezhen,” kata Wali Kota Jingdezhen Hu Xuemei.
“Dengan menetap di satu tempat dan mengirimkan karya saya ke seluruh dunia, saya merasakan perpaduan ajaib dari sejarah yang telah berusia ribuan tahun dengan era internet modern di sini,” ujar Kami.
Bagi para seniman keramik, kejayaan ibu kota porselen kuno ini tidak pernah surut. “Tidak ada kota lain yang memvalidasi porselen seperti Jingdezhen. Jadi, saya berencana untuk tetap tinggal di sini,” kata Ryan Labar, seorang seniman Amerika.
“Jingdezhen sangat inklusif. Siapa pun Anda, seniman, desainer, pebisnis, atau wisatawan, jika Anda ingin membuat porselen, asalkan Anda punya ide, kota ini dapat membantu Anda mewujudkannya,” sebut Yazici.
(Reporter video: Cheng Di, Gu Tiancheng, Huang Hexun, Zhang Huan, Zhang Xuan, Ma Yujie; Editor video: Zhu Cong, Zhang Yuhong)