Lebih dari 40 persen pasien di Indonesia kini menggunakan layanan pengobatan telemedicine, yang dapat membantu mencegah fasilitas-fasilitas medis mengalami kewalahan di tengah gelombang ketiga COVID-19.
JAKARTA, Lala Yusuf (29) tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Dia jatuh sakit pada awal Februari dan melakukan isolasi mandiri di tempat kosnya sejak saat itu. Hasil tes usap (swab test) mengonfirmasi bahwa dia terinfeksi COVID-19.
Hasil tes PCR-nya tercatat di PeduliLindungi, aplikasi pencatat hasil tes dan pelacak resmi milik pemerintah, dan Lala diberi akses pengobatan jarak jauh (telemedicine) Kementerian Kesehatan. Kurang dari 24 jam, seorang kurir datang untuk mengantarkan paket obat-obatan yang terdiri dari antivirus, multivitamin, dan parasetamol yang telah diresepkan oleh dokter.
“Prosesnya cepat dan mudah. Obatnya seharga 1 juta rupiah, tetapi diberikan secara gratis,” kata Lala.
Sementara di Jakarta, Tya Azhari (42) yang berprofesi sebagai dosen juga melakukan isolasi mandiri dan berkonsultasi dengan dokter melalui aplikasi tersebut. Menurutnya, layanan pengobatan telemedicine merupakan terobosan dalam kesehatan masyarakat. “Kualitas layanannya pasti akan meningkat seiring berjalannya waktu,” kata Azhari.
Pemerintah Indonesia ingin semua orang yang terinfeksi COVID-19 mendapatkan pelayanan kesehatan gratis melalui 17 providerpengobatan telemedicine, terutama bagi yang tidak menunjukkan gejala atau gejala ringan, sehingga fasilitas-fasilitas kesehatan tidak kewalahan. Mereka yang menunjukkan gejala berat tetap disarankan untuk pergi ke pusat kesehatan terdekat. Lebih dari 40 persen pasien saat ini menggunakan layanan pengobatan telemedicine. Sebagian besar dinyatakan positif tetapi tanpa gejala.
Di tengah gelombang ketiga COVID-19 di Indonesia, tingkat keterisian tempat tidur tetap di bawah 40 persen dari total kapasitas, sementara tingkat infeksi harian mencapai rekor tertinggi 65.000 pada 16 Februari karena penyebaran varian Omicron yang sangat menular. [Xinhua]