BRAZZAVILLE – Sepatu berbahan kulit sapi sudah dikenakan. Sapu tangan pemanis sudah terselip di saku jas. Pipa cangklong pun sudah dipegang. Inilah protokol pengecekan yang dilakukan Contrao de Pereira, pria asal Republik Kongo, sebelum dia keluar rumah.
Di Republik Kongo dan tetangganya, Republik Demokratik (RD) Kongo, kelompok penggemar mode seperti de Pereira ini dikenal sebagai “sapeur”. Sebutan mereka berasal dari istilah slang bahasa Prancis yang berarti berpakaian perlente atau berkelas. Namun, sebutan itu juga berasal dari akronim bahasa Prancis kelompok sosial mereka, “SAPE”, yaitu orang-orang elegan dan pencipta suasana nan modis.
Bagi de Pereira, yang mengklaim bahwa setiap orang di Republik Kongo adalah sapeur, darah budaya SAPE terutama mengalir di nadinya. Lahir dan dibesarkan di keluarga sapeur terkenal, de Pereira pada usia tiga tahun sudah belajar dari sang ayah tentang bagaimana caranya tampil gaya dan memadukan berbagai warna pada pakaiannya.
Baginya, tetap tampil perlente menjadi bagian dari kehidupannya sekaligus tugasnya sebagai seorang sapeur. “Budaya SAPE berarti, yang terutama, kecintaan untuk tampil gaya,” ujar de Pereira sambil memamerkan merek-merek yang dia kenakan untuk pertemuan mingguan di bar setempat.
Saat akhir pekan tiba, para sapeur di Brazzaville, ibu kota Republik Kongo, biasanya berkumpul di luar bar-bar setempat. Mereka menikmati bir sambil mengobrol tentang hidup, menyelipkan sedikit “joie de vivre” dalam kehidupan mereka.
Dalam setiap pertemuan itu, jalanan setempat di Brazzaville berubah layaknya peragaan busana dalam pekan mode Paris. Orang-orang bergaya perlente (dandy) itu bergantian memamerkan pakaian yang mereka kenakan sambil berdansa mengikuti alunan musik.
Meski menjadi seorang sapeur terkesan perlu banyak usaha, de Pereira menuturkan bahwa sebenarnya orang awam cukup mematuhi satu aturan untuk menjadi bagian dari kelompok mereka. “Jika Anda ingin menjadi sapeur sejati, Anda hanya perlu menghormati trilogi tiga warna, yaitu apa yang kita kenakan tidak boleh lebih dari tiga warna sekaligus,” paparnya.
Kalangan sapeur umumnya terdiri dari para pekerja keras alih-alih terlahir kaya. “Sebagian orang bekerja keras untuk membeli rumah, tetapi kami berupaya sepanjang hidup untuk bergaya perlente,” tutur Mesmin Ba Couleur, salah seorang sapeur lain di jalanan itu.
Selain pakaian mahal mereka, etos yang berpusat pada rasa saling menghargai, perdamaian, integritas, dan kehormatan turut terpatri pada sosok para sapeur. “Saya selalu mengatakan bahwa para sapeur adalah orang-orang yang cinta damai. Kami selalu berusaha menunjukkan pesan yang tepat,” ujar de Pereira.
Bagi para sapeur, yang merupakan kalangan terhormat di masyarakat setempat, mereka menjadi panutan untuk tetap tampil gaya sekaligus menjaga kebersihan pribadi. “Kami memberikan contoh dalam menjaga kebersihan. Kami mengimbau orang-orang untuk mencuci tangan dan menjaga jarak sosial (social distance). Ini juga menjadi makna SAPE,” kata de Pereira.
“Rasanya bahagia menjadi seorang sapeur. Para sapeur adalah sosok multidimensi dan memiliki kekuatan luar biasa besar. SAPE itu bagus karena, lihat, gagah bukan penampilan saya kalau perlente begini?” kata de Pereira. [Xinhua]