WARTABUANA – Pemerintah China sukses menggelar Forum Tata Kelola Hak Asasi Manusia (HAM) Global di Beijing, China, pada Rabu (14/6/2023) dan Kamis (15/6/2023).
Acara bertemakan “Kesetaraan, Kerja Sama, dan Pembangunan: Peringatan 30 Tahun Deklarasi dan Program Aksi Wina dan Tata Kelola Hak Asasi Manusia Global” itu terselenggara berkat kerja sama Kantor Informasi Dewan Negara China dengan Kementerian Luar Negeri China, dan Badan Kerja Sama Pembangunan Internasional China.
Forum tersebut mampu menarik minat banyaknya orang karena dihadiri lebih dari 300 peserta. Mereka berasal hampir dari 100 negara dan ada yang merupakan anggota organisasi internasional, termasuk badan-badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Presiden China Xi Jinping melalui anggota Biro Politik Komite Sentral Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC) sekaligus Kepala Departemen Publisitas Komite Central CPC Li Shulei menyatakan, pihaknya mendukung upaya perlindungan HAM dengan keamanan, promosi HAM melalui pembangunan, serta memajukan HAM lewat kerja sama yang saling menghormati dan mengusung kesetaraan.
Hal serupa juga disampai Presiden Kantor Berita Xinhua Fu Hua. Ia menuturkan, HAM merupakan pencapaian umat manusia dan simbol kemajuan. Penghormatan dan perlindungan HAM pun menjadi prinsip dasar peradaban modern dan tujuan yang tak tergoyahkan dari CPC.
Sorot kerja sama internasional
Dalam kesempatan itu, China juga menyatakan siap bekerja sama dengan seluruh dunia guna merealisasikan prinsip-prinsip yang diatur dalam Deklarasi dan Program Aksi Wina.
Prinsip tersebut di antaranya mendorong kesetaraan, keadilan, rasionalitas, dan perluasan inklusivitas dalam tata kelola HAM global, serta pembangunan komunitas manusia dengan masa depan bersama.
Namun, untuk mewujudkan tujuan HAM global, seluruh masyarakat internasional perlu bersinergi. Komisaris untuk kerja sama internasional di Kementerian Luar Negeri Republik Afrika Tengah Saint Cyr Mazangue sepakat dengan hal ini. Bahkan, menurutnya, negara-negara besar harus memikul tanggung jawab dalam perwujudan tujuan tersebut.
Sementara itu, pakar HAM di Komite Penasihat Dewan HAM PBB Liu Xinsheng berpendapat, negara-negara berkembang perlu dukungan lebih kuat agar bisa terlibat dalam tata kelola global. Dengan demikian, upaya-upaya demokrasi serta supremasi hukum dalam memajukan perkembangan tata kelola HAM global yang sehat dapat dijajaki.
Terkait kerja sama HAM internasional, banyak peserta forum menggarisbawahi peran PBB dan prinsip-prinsipnya mengenai HAM, termasuk Liu. Ia berkata, kepatuhan terhadap tujuan dan prinsip Piagam PBB adalah fundamental dalam manajemen HAM global.
Sepakat dengan pandangan China
Pada forum tersebut, tak sedikit pakar yang sepakat dengan China perihal pentingnya menghormati dan melindungi HAM. Sebab, hal ini dinilai dapat memberikan wawasan baru dan menjadi solusi terhadap berbagai tantangan HAM global.
Ketua Kuhn Foundation Robert Lawrence Kuhn menyebutkan, upaya itu sudah China manifestasikan lewat keikutsertaan masyarakat China pada tata kelola pemerintahan nasional atau yang disebut demokrasi rakyat seluruh proses.
“Meningkatkan keterlibatan rakyat (pada) seluruh proses negara akan memperkuat HAM. Hal itu sesuai dengan seruan CPC, yakni memperluas partisipasi politik rakyat secara tertib, memperkuat perlindungan HAM dan supremasi hukum, serta memastikan bahwa masyarakat China menikmati hak-hak dan kebebasan luas yang sesuai dengan hukum,” tutur Kuhn.
Selain itu, para partisipan dalam forum juga membahas pandangan China soal HAM yang tecermin lewat sejumlah inisiatif, antara lain Inisiatif Pembangunan Global (Global Development Initiative/GDI) dan Inisiatif Keamanan Global (Global Security Initiative/GSI).
Turut hadir membahas hubungan antara GDI dan hak atas pembangunan adalah Cendekiawan terkemuka Zambia Frederick Mutesa. Ia memuji implementasi GDI sebagai salah satu contoh nyata upaya China dalam mendorong pembangunan komunitas manusia dengan masa depan bersama.
Sementara itu, Komisaris Komisi HAM Uganda Crispin Kaheru menuturkan bahwa inisiatif China lewat GSI dinilai dapat mendorong terciptanya situasi yang saling menguntungkan (win-win), bukan penyelesaian permainan menang-kalah (zero-sum game).
Untuk diketahui, China dalam GSI lebih mengedepankan dialog daripada konfrontasi dan kemitraan daripada beraliansi.
“China tidak hanya mengusulkan cara, tetapi juga membagikan pengalamannya,” imbuhnya.
HAM di era digital
Di forum tersebut, para partisipan juga menyoroti peluang dan tantangan baru realisasi tata kelola HAM global yang baik di tengah perkembangan pesat teknologi digital.
Profesor di Fakultas Jurnalisme dan Komunikasi Universitas Tsinghua Shi Anbin menekankan bahwa untuk dapat melewati periode kritis tata kelola digital, negara-negara Global South harus melanjutkan South-South Cooperation, memperdalam pertukaran dan kerja sama teknologi internasional, serta merangsang inovasi internal.
Sebab, menurutnya, teknologi digital juga dapat memberdayakan negara-negara untuk memajukan HAM dalam banyak aspek jika dimanfaatkan secara benar. Hal ini telah terbukti di Argentina.
Koordinator China Research Center di Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial di Universitas Nasional La Plata Argentina Maria Francesca Staiano mengatakan, teknologi digital dapat membantu meningkatkan pendidikan dan mengentaskan kemiskinan masyarakat setempat.
Atas manfaat tersebut, Maria berharap, China akan terlibat dalam peningkatan kerja sama dengan negara-negara di Amerika Latin dan Karibia dalam berbagai bidang, termasuk teknologi digital. Tujuannya, tidak sekadar mewujudkan tata kelola global yang baik, tapi juga untuk memberikan kontribusi baru bagi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal/SDG) PBB.[]