WASHINGTON – Mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Senin (18/10) mengajukan gugatan hukum terhadap Arsip Nasional AS dan komite khusus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyelidiki kerusuhan di gedung Capitol pada 6 Januari lalu dalam upaya menghalangi Kongres AS agar tidak memperoleh dokumen terkait pemberontakan tersebut.
“Permintaan Komite itu tak lebih dari sekadar upaya pengungkapan fakta ilegal dan menjengkelkan yang didukung secara terbuka oleh Biden dan dirancang untuk menyelidiki presiden Trump beserta pemerintahannya secara tidak konstitusional,” kata gugatan hukum tersebut. “Undang-undang kita tidak mengizinkan tindakan impulsif dan mengerikan semacam itu terhadap mantan presiden dan para penasihat dekatnya.”
Komite itu pada Agustus meminta Arsip Nasional AS, yang menjadi penjaga catatan Gedung Putih selama pemerintahan Donald Trump, untuk menyerahkan daftar panjang catatan selama Trump berkuasa dan pascakerusuhan di gedung Capitol.
Permintaan tersebut merupakan bagian dari proses investigasi panel itu yang masih berlangsung dan berjalan intensif terkait bagaimana massa pendukung Trump dapat menerobos gedung Capitol pada 6 Januari dan berupaya menghentikan jalannya rapat gabungan Kongres yang mengesahkan hasil pemilihan presiden 2020 kepada Joe Biden.
Trump menyampaikan bahwa dirinya akan menggunakan hak istimewa eksekutif presiden untuk melindungi dokumen yang diminta oleh komite tersebut. Namun, Biden, yang menurut para ahli hukum memiliki keputusan akhir apakah informasi yang diminta panel itu dilindungi oleh hak istimewa eksekutif presiden atau tidak, memutuskan bahwa upaya Trump dalam menyembunyikan dokumen itu bukanlah kepentingan terbaik AS atau dibenarkan.
Dalam sebuah surat bertanggal 8 Oktober yang ditujukan kepada Kepala Arsip Nasional AS David Ferriero, Penasihat Gedung Putih Dana Remus meminta agar Ferriero menyerahkan sebagian dari dokumen yang diperlukan yang diidentifikasi oleh Trump sebagai hak istimewa Kongres. Remus menambahkan bahwa dokumen-dokumen itu harus diserahkan 30 hari setelah Ferriero melaporkan hal itu kepada mantan presiden AS tersebut.
Kendati demikian, dalam gugatan hukum yang diajukan ke Pengadilan Distrik DC, Trump mengklaim bahwa Biden memiliki kepentingan untuk mempertahankan hak istimewa eksekutifnya, seraya mengatakan hal itu merupakan “taktik politik untuk mengakomodasikan sekuttu partisan Biden.”
“Sehubungan dengan materi apapun yang dicari dalam situasi seperti ini, di mana hak istimewa mendasar dan isu konstitusional dipertaruhkan dan di mana sebuah komite telah menolak untuk memberikan waktu yang cukup guna melakukan tinjauan penuh, terdapat tradisi bipartisan yang sudah bertahan lama terkait pernyataan protektif atas hak istimewa eksekutif yang dirancang guna memastikan adanya keputusan akhir, jika diperlukan, atas sejumlah atau semua materi yang diminta,” menurut gugatan hukum tersebut.
Selain mencari dokumen Gedung Putih selama pemerintahan Trump, komite khusus itu juga mengirimkan surat panggilan dan meminta kesaksian deposisi terhadap beberapa mantan pejabat senior di jajaran pemerintahan Trump, termasuk Steve Bannon, mantan kepala ahli strategi Trump yang menolak panggilan itu dan tidak hadir dalam sesi dengar pendapat yang dijadwalkan pekan lalu.
Absennya Bannon membuat panel yang dipimpin oleh Partai Demokrat itu merasa berang, dan mendorong panel tersebut menggelar pemungutan suara pada Selasa (19/10) guna merekomendasikan agar Bannon mendapat tuntutan pidana atas tindak penghinaan.
Dalam upaya yang berpotensi menjadi pukulan lainnya bagi mantan presiden AS tersebut, anggota parlemen dari Partai Demokrat, Bennie Thompson, yang mengepalai komite khusus tersebut, tidak menutup kemungkinan akan memanggil Trump. [Xinhua]