Tiga pertemuan puncak intensif dilakukan dalam dua hari. Presiden AS Joe Biden memadatkan jadwalnya demi agenda pada Kamis (24/3) dan Jumat (25/3) ketika dia bergegas ke Brussel untuk berjabat tangan, berpose untuk foto, dan berusaha memamerkan tampilan persatuan dengan para mitra Eropanya, kendati gagal membujuk mereka untuk memberikan sanksi tambahan terhadap Rusia.
Terlepas dari nada yang tampaknya bulat menentang Rusia di seluruh kemitraan transatlantik itu, kekhawatiran geopolitik dan perbedaan kepentingan turut bermain, sehingga sulit untuk menyeimbangkan tuntutan berbagai pihak.
Statistik menunjukkan bahwa saat ini lebih dari 40 persen gas alam Uni Eropa (UE) dan 25 persen konsumsi minyak blok itu berasal dari Rusia, sebuah kenyataan yang membuat langkah UE mengikuti larangan AS atas impor energi Rusia menjadi tidak realistis, meski ada tekanan dari Washington.
BRUSSEL, Tiga pertemuan puncak intensif dilakukan dalam dua hari. Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memadatkan jadwalnya demi agenda pada Kamis (24/3) dan Jumat (25/3) ketika dia bergegas ke Brussel untuk berjabat tangan, berpose untuk foto, dan berusaha memamerkan tampilan persatuan dengan para mitra Eropanya, kendati gagal membujuk mereka untuk memberikan sanksi tambahan terhadap Rusia.
Menyusul KTT Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) dan pertemuan G7 (Group of Seven), KTT Dewan Eropa diadakan pada Kamis dan berlanjut hingga Jumat, di mana krisis Ukraina menjadi fokus utama.
Terlepas dari nada yang tampaknya bulat menentang Rusia di seluruh kemitraan transatlantik itu, kekhawatiran geopolitik dan perbedaan kepentingan turut bermain, sehingga sulit untuk menyeimbangkan tuntutan berbagai pihak.
TIDAK ADA SANKSI BARU
KTT Dewan Eropa pada Kamis gagal menyepakati sanksi tambahan terhadap Rusia, terlepas dari kehadiran Biden, mencerminkan perbedaan posisi di antara para anggota Uni Eropa (UE), yang semakin waspada terhadap konsekuensi dari tindakan tersebut, mengingat tantangan yang sudah mereka hadapi saat ini akibat krisis Ukraina.
Sementara Biden sibuk “memamerkan persatuan” di pertemuan puncak pada Kamis itu, Gedung Putih mengumumkan serangkaian sanksi baru terhadap Duma Negara Rusia dan beberapa pihak yang mereka sebut “oligarki” serta beberapa lembaga keuangan dan para pemimpinnya.
Sebaliknya, para pemimpin UE, usai bertukar pandangan dengan presiden AS tentang kerja sama transatlantik dalam konteks krisis Ukraina, menyimpulkan bahwa blok tersebut tidak akan menjatuhkan tambahan sanksi terhadap Rusia.
“UE sejauh ini telah menjatuhkan sanksi signifikan yang memberikan dampak besar pada Rusia dan Belarus, dan tetap siap untuk menutup celah dan membidik pengelakan potensial dan aktual serta untuk bergerak cepat dengan sanksi-sanksi kuat yang terkoordinasi lebih lanjut,” kata blok tersebut dalam siaran pers.
Berbicara kepada wartawan jelang pertemuan UE tersebut, Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte mengaku dirinya ragu para pemimpin UE akan menyetujui sanksi tambahan pada Kamis, sambil menekankan bahwa Belanda akan mendukung sanksi tambahan semacam itu.
Menyadari dampak besar sanksi UE saat ini terhadap Rusia, PM Yunani Kyriakos Mitsotakis memperingatkan bahwa UE juga berpotensi menanggung pukulan berat dari sanksi yang mereka berikan.
“Kita harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa tindakan apa pun yang kita terapkan tidak berakhir menjadi lebih menyakitkan bagi warga Eropa sendiri ketimbang Rusia,” ujarnya menjelang pertemuan UE tersebut.
Sikap senada dengan Yunani juga ditunjukkan oleh PM Belgia Alexander De Croo, yang mengatakan kepada pers bahwa sanksi baru yang akan dijatuhkan haruslah menghantam Rusia lebih keras dibandingkan UE.
“Aturan dasarnya adalah sanksi harus memiliki dampak yang jauh lebih besar di pihak Rusia ketimbang Eropa. Kami tidak berperang melawan diri kami sendiri,” kata De Croo.
Mitsotakis juga menyoroti bahwa fokus seharusnya ditujukan pada penerapan sanksi. “Kita sekarang harus fokus untuk memastikan tidak ada ‘kebocoran’ dalam hal penerapan sanksi, bahwa semua negara yang merupakan bagian dari aliansi ini ikut berpartisipasi dalam sanksi tersebut,” ujarnya.
PM Luksemburg Xavier Bettel juga mengesampingkan sanksi baru sampai Rusia “melewati batas lainnya.” “Jika kita ingin mengeluarkan sanksi baru, kita perlu mengeluarkannya sebagai reaksi terhadap sesuatu,” tutur Bettel.
LANGKAH YANG TIDAK REALISITIS
Meskipun AS dan UE pada Jumat mengumumkan gugus tugas untuk mengurangi ketergantungan Eropa terhadap bahan bakar fosil Rusia, beberapa negara Eropa, termasuk Jerman, tetap enggan mengumumkan tindakan drastis terhadap energi Rusia lantaran takut memperburuk masalah pasokan.
Sejumlah politisi dan pakar berpendapat bahwa harapan Eropa untuk sepenuhnya membebaskan diri dari energi Rusia tampak terlalu optimistis.
Rutte mengatakan perlu waktu untuk mendiversifikasi impor energi Eropa sebelum larangan impor energi Rusia bisa terjadi.
“Perlu beberapa pekan atau bahkan berbulan-bulan sebelum Anda dapat mengalihkan negara-negara seperti Jerman atau negara-negara Eropa Timur tertentu dari pasokan minyak Rusia ke pasokan minyak lainnya. Dalam kasus gas, dibutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Batu bara kemungkinan bisa lebih cepat,” kata Rutte.
Statistik menunjukkan bahwa saat ini lebih dari 40 persen gas alam UE dan 25 persen konsumsi minyaknya berasal dari Rusia, sebuah kenyataan yang membuat langkah UE untuk mengikuti larangan AS atas impor energi Rusia menjadi tidak realistis, meski ada tekanan dari Washington.
“Tetapi Biden harus berhati-hati membuat janji yang tidak dapat ditepati oleh pemerintahannya,” kata portal berita AS Politico pada Senin (21/3) dalam sebuah artikel. “Kebutuhan gas Eropa yang besar di pasar dengan pasokan yang mulai menipis akan menciptakan rintangan besar, seperti juga pengaruh pemerintah AS yang relatif kecil pada masalah jangka pendek di pasar energi.”
UE tidak memiliki langkah realistis untuk mengganti semua pasokan gas alam Rusia yang dibutuhkannya, bahkan jika AS menggenjot ekspornya atau negara-negara lain mengalihkan pengiriman mereka, kata mantan regulator industri Texas Ryan Sitton kepada Sputnik.
“Tidak mungkin sepenuhnya menghilangkan begitu saja gas Rusia dari pasar Eropa, (karena) sumber itu menyumbang porsi yang begitu besar dari jumlah gas yang mereka gunakan,” kata Sitton.
“Negara-negara Barat dapat memutuskan untuk mengalihkan gas mereka ke Eropa dan itu akan menggantikan sebagian dari gas Rusia, tetapi sebetulnya tidak ada cara yang realistis untuk menggantikan semua (gas Rusia),” ujar Sitton. [Xinhua]