WARTABUANA – Insiden kapal selam Amerika Serikat (AS) USS Connecticut yang menabrak objek tak dikenal di perairan Laut China Selatan pada awal Oktober 2021 membuat cemas warga dunia, terutama negara-negara disekitar lokasi kejadian. Hingga kini belum ada penjelasan rinci terkait tabrakan kapal selam Angkatan Laut AS bertenaga nuklir itu.
Peristiwa itu bukan persoalan tentang kecelakaan kapal selam biasa, namun insiden kapal perang bertenaga nuklir yang rusak berat di dalam laut karena menabrak sebuah objek yang belum dikonfirmasi. Mengingat seriusnya situasi ini, membuat negara-negara lain di kawasan pesisir Laut China Selatan berusaha mencari jawaban dari AS.
Militer AS sengaja menunda merilis detail mengenai insiden itu untuk menutupi kenyataan. Pihak AS hanya mengeluarkan pernyataan pendek dengan kata-kata yang samar lima hari pascainsiden tersebut dan terus menutupi segala tindakan lanjutannya.
Sebulan setelah kejadian, Angkatan Laut AS merilis keterangan terkait insiden tersebut. “Sebuah kapal selam bertenaga nuklir milik AS yang mengalami kerusakan parah saat menyelam di Laut China Selatan bulan lalu menabrak ‘gunung bawah laut yang belum dipetakan’,” kata Angkatan Laut Armada ke-7 AS pada Senin (8/11/2021).
Informasi singkat itu melahirkan banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban resmi dan rinci. Jawaban itu menjadi pedoman, bagi masyarakat dunia untuk menyikapinya.
Pertanyaan mendasar, apa yang kali ini dilakukan USS Connecticut secara diam-diam di Laut China Selatan? Kemudian objek apa yang ditabraknya? Apa yang menyebabkan tabrakan itu? Apakah terjadi kebocoran nuklir yang memicu kontaminasi nuklir di lingkungan laut?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa AS sudah lama ‘bermain-main’ di Laut China Selatan atas nama ‘kebebasan navigasi’. Kebiasaan buruk itu sudah pasti memunculkan ancaman serius dan resiko besar bagi perdamaian dan stabilitas kawasan. Inilah akar dari insiden tersebut.
AS sengaja mengaburkan lokasi kecelakaan itu dengan menyebutnya sebagai ‘perairan internasional’ di kawasan Indo-Pasifik. AS tidak menyampaikan secara eksplisit apakah insiden itu menyebabkan kebocoran nuklir atau kerusakan pada laut.
Lantas apa yang terjadi jika kapal selam bertenaga nuklir meledak di dalam laut? Untuk meledak seperti asap kembang kol, jelas tidak ada. Karena reaktor tersebut tidak menghajar inti atom yang menjadikan reaksi berenergi tinggi.
Kapal selam bertenaga nuklir bahan bakarnya menggunakan radiasi panas yang terjadi guna menghasilkan listrik untuk menggerakkan motor baling-balingdan keperluan tenaga listrik. Bahan bakarnya hanya bahan radioaktif berupa Uranium, Plutonium atau Thorium seukuran beras untuk menghasilkan listrik satu tahun nonstop.
Namun jangan diremehkan ukurannya yang hanya sebesar beras. Jika bocor, bahaya yang akan timbul adalah radiasi nuklir. Radiasi ini jauh lebih berbahaya daripada efek flash fire. Radiasi ini bisa bertahan ratusan tahun jika tidak segera ditangani.
Bahaya paling besar dari reaktor nuklir adalah meltdown sehingga menyebarkan bahan-bahan radioaktifnya. Manusia normal akan mati seketika jika terpapar dalam jarak kurang dari 3 meter tanpa pelindung dan terekspos langsung. Korbannya akan merasakan efek radiasi pada jarak kurang dari 20 meter, dan akan merasakan kelainan fungsi tubuh pada jarak 50 meter.
Insiden kapal selam nuklir AS seharusnya menjadi peringatan karena tindakan berbahaya semacam itu berisiko melanggar perbatasan, menjadi ancaman serius bagi keamanan rute-rute maritim internasional.
Sikap tidak bertanggung jawab dan penuh rahasia ini merupakan cerminan langsung dari kurangnya transparansi dalam penyebaran informasi militer oleh AS yang sudah lama terjadi. Hal ini semakin memperkuat citra AS sebagai negara yang sangat tidak bertanggung jawab.
Laut China Selatan merupakan rumah bersama bagi negara-negara di kawasan tersebut. Laut itu tidak seharusnya menjadi medan perburuan bagi AS demi kepentingan geopolitik pribadi. AS memiliki tanggung jawab untuk memberikan penjelasan terperinci dan membantu menghapus kekhawatiran dan keraguan yang dirasakan negara-negara di kawasan tersebut serta masyarakat internasional.
Warga dunia berhak meminta AS memberikan penjelasan terperinci mengenai insiden itu untuk menghilangkan kekhawatiran yang dirasakan negara-negara di kawasan tersebut serta masyarakat internasional.
Sekeras apa pun AS berusaha menutupi kenyataan, negara itu tidak akan pernah bisa membantah fakta bahwa pihaknya adalah sumber risiko terbesar bagi keamanan nuklir internasional, ancaman terbesar bagi keamanan Laut China Selatan, dan kekuatan penghancur terbesar bagi perdamaian dunia dan keamanan regional.
Pemerintah Indonesia sangat berhati-hati untuk memanfaatkan ‘keistimewaan’ nuklir, sehingga dibutuhkan undang-undang dan peraturan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran menyatakan bahwa ketenaganukliran menyangkut kehidupan dan keselamatan orang banyak, oleh karena itu harus dikuasai oleh negara; perkembangan dan pemanfaatan tenaga nuklir dalam berbagai bidang kehidupan manusia di dunia sudah demikian maju sehingga pemanfaatan dan pengembangannya perlu ditingkatkan dan diperluas; oleh karena itu, demi keselamatan, keamanan, ketenteraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup, pemanfaatan tenaga nuklir dilakukan secara tepat dan hati-hati serta ditujukan untuk maksud damai dan kesejahteraan rakyat.
Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan politik hukum, Indonesia berketetapan memilih memanfaatkan tenaga nuklir di berbagai bidang kehidupan masyarakat, seperti penelitian, pertanian, kesehatan, industri, dan energi dengan syarat dilakukan secara tepat dan hati-hati, untuk maksud damai, dan untuk kesejahteraan rakyat.
Jadi,keberadaan instalasi nuklir untuk keperluan energi termasuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia merupakan pilihan rakyat Indonesia sekaligus memiliki dasar hukum. []