Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres berpidato di acara Majelis Umum PBB untuk memperingati Hari Peringatan Internasional Korban Perbudakan dan Perdagangan Budak Transatlantik di markas besar PBB di New York, pada 27 Maret 2023. (Xinhua/UN Photo/Eskinder Debebe)
“Dengan mengajarkan sejarah perbudakan, kita membantu melindungi diri dari dorongan kemanusiaan yang paling kejam. Dengan mempelajari asumsi dan keyakinan yang berlaku yang memungkinkan praktik ini berkembang selama berabad-abad, kita membongkar rasisme di zaman kita,” ungkap Sekjen PBB Antonio Guterres.
PBB, 27 Maret (Xinhua) — Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Senin (27/3) menyerukan untuk memerangi warisan perbudakan berupa rasisme melalui pendidikan, yang menurutnya merupakan “senjata paling ampuh.”
“Menjadi kewajiban kita untuk memerangi warisan perbudakan berupa rasisme,” ujar Guterres dalam acara Majelis Umum PBB yang memperingati Hari Peringatan Internasional Korban Perbudakan dan Perdagangan Budak Transatlantik.
Dia mengatakan perbuatan jahat perbudakan berlangsung selama lebih dari 400 tahun, seraya menuturkan bahwa sejarah perbudakan merupakan salah satu dari “penderitaan, kejahatan, kekerasan, dan eksploitasi.”
“Namun, warisan perdagangan budak transatlantik masih menghantui kita hingga hari ini,” kata Guterres. “Kita dapat menarik garis lurus dari era eksploitasi kolonial ke kesenjangan sosial dan ekonomi saat ini.”
Dia menambahkan bahwa bekas luka perbudakan masih terlihat dalam berbagai kesenjangan yang masih terjadi terkait kekayaan, pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan kesempatan.
“Dan kita dapat mengenali kiasan-kiasan rasis yang dipopulerkan untuk merasionalisasi ketidakmanusiawian perdagangan budak dalam kebencian supremasi kulit putih yang bangkit kembali hari ini,” tuturnya.
Menyebut pendidikan sebagai senjata paling ampuh untuk memerangi warisan perbudakan berupa rasisme, sang sekjen PBB mendesak pemerintah di mana pun untuk memasukkan pelajaran ke dalam kurikulum sekolah tentang penyebab, manifestasi, dan konsekuensi luas dari perdagangan budak transatlantik.
“Dengan mengajarkan sejarah perbudakan, kita membantu melindungi diri dari dorongan kemanusiaan yang paling kejam. Dengan mempelajari asumsi dan keyakinan yang berlaku yang memungkinkan praktik ini berkembang selama berabad-abad, kita membongkar rasisme di zaman kita,” ungkap Guterres.
Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi pada Desember 2007 yang menetapkan 25 Maret sebagai Hari Peringatan Internasional Korban Perbudakan dan Perdagangan Budak Transatlantik tahunan. Hari itu diperingati dengan berbagai upacara dan kegiatan di markas besar PBB di New York dan di kantor-kantor PBB di seluruh dunia. [Xinhua]