Sarkissian menekankan bahwa tujuan dari proposalnya “bukan untuk berpindah dari satu model pemerintahan ke model pemerintahan lainnya, tetapi untuk menciptakan sistem negara yang berdasarkan checks and balances(saling mengontrol).”
YEREVAN, Presiden Armenia Armen Sarkissian pada Minggu (23/1) mengumumkan pengunduran dirinya, dengan alasan kurangnya kekuatan konstitusional baginya untuk menyelesaikan masalah kebijakan di dalam dan luar negeri.
Dalam pernyataan yang diunggah di situs web kepresidenan, Sarkissian mengaitkan pengunduran dirinya dengan “situasi paradoks ketika Presiden harus menjadi penjamin kenegaraan tanpa benar-benar memiliki alat yang nyata.”
“Karena tanggung jawab yang saya emban sebagai Presiden Republik ini. Saya berkewajiban untuk melakukan segala hal dalam kekuasaan saya untuk mencegah perpecahan internal yang semakin dalam, kemungkinan bentrokan, yang dapat menyebabkan konsekuensi yang sangat negatif. Saya juga berusaha menggunakan reputasi dan koneksi yang saya peroleh selama menjabat selama bertahun-tahun, potensi politik dan ekonomi internasional saya untuk membangun negara yang kuat dan stabil,” kata sang presiden dalam pernyataannya.
Dalam pernyataannya itu, Sarkissian menunjukkan bahwa karena kurangnya alat-alat yang memadai yang diberikan oleh Konstitusi, dia gagal mengontrol berbagai peristiwa politik yang menyebabkan krisis nasional saat ini.
Pernyataan tersebut menambahkan bahwa presiden tidak memiliki kekuatan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan penting di dalam negeri yang krusial bagi negara itu.
Sarkissian menekankan bahwa tujuan dari proposalnya “bukan untuk berpindah dari satu model pemerintahan ke model pemerintahan lainnya, tetapi untuk menciptakan sistem negara yang berdasarkan checks and balances (saling mengontrol).”
Sarkissian dilantik sebagai presiden Armenia keempat untuk masa jabatan tujuh tahun pada 9 April 2018.
Armenia beralih dari sistem pemerintahan presidensial langsung ke sistem parlementer setelah reformasi konstitusi disetujui dalam sebuah referendum nasional pada Desember 2015. Parlemen dapat memilih seorang presiden dengan mayoritas tiga perempat suara.
Di bawah amandemen konstitusi yang baru itu, meskipun diakui sebagai kepala negara, presiden akan memegang sebagian besar peran seremonial dengan kekuasaan eksekutif sebenarnya berada di tangan perdana menteri. [Xinhua]