Pertemuan pertama antara para menteri luar negeri Israel-Arab membantu memperkuat hubungan Israel dengan negara-negara Arab tertentu, seiring mereka berbagi kekhawatiran tentang menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, sebut para pakar.
Oleh Tamara Traubmann-Santos
YERUSALEM, 29 Maret (Xinhua) — Pertemuan pertama antara para menteri luar negeri (menlu) Israel dan negara-negara Arab membantu memperkuat hubungan Israel dengan beberapa negara Arab tertentu, seiring mereka berbagi kekhawatiran tentang pembaruan kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, sebut para pakar.
Konferensi yang berlangsung selama dua hari dan berakhir pada Senin (28/3) itu mempertemukan Menlu Israel Yair Lapid dan para mitra setaranya dari empat negara Arab, yaitu Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko, dan Mesir, di resor Sde Boker di Gurun Negev, Israel selatan.
“Apa yang kita lakukan di sini mencetak sejarah. Membangun arsitektur regional baru berdasarkan kemajuan, teknologi, toleransi beragama, keamanan, dan kerja sama intelijen,” tutur Lapid, yang memprakarsai pertemuan yang juga dihadiri oleh Menlu AS Antony Blinken itu.
Lapid mengumumkan bahwa ke depannya konferensi tersebut akan menjadi acara tahunan, yang digelar oleh negara-negara partisipan secara bergiliran setiap tahunnya.
“Beberapa tahun lalu pertemuan ini sama sekali tak terbayangkan,” ujar Blinken, menyebut pertemuan itu sebagai indikasi terbaru tentang bagaimana hubungan baru ini dapat diperluas di kawasan itu.
Menlu UEA Abdullah bin Zayed bin Sultan Al Nahyan memuji hubungan yang diperkuat antara negaranya dan Israel.
“Jika terkadang kami penasaran, dan kami ingin mengetahui beberapa hal dan belajar, itu karena meski Israel sudah sangat lama menjadi bagian dari kawasan ini, kita tidak saling mengenal. Jadi, inilah waktunya untuk mengejar ketertinggalan,” katanya.
PERTEMUAN BERSEJARAH
“Pencapaian terpenting dari konferensi tingkat tinggi (KTT) itu adalah fakta bahwa KTT itu terselenggara,” ujar Yoel Guzansky, peneliti senior di Institut Studi Keamanan Nasional, wadah pemikir yang berbasis di Tel Aviv.
Ketika pada 2020 Israel menandatangani Perjanjian Abraham yang dimediasi Amerika Serikat (AS) bersama UEA dan Bahrain, dan kemudian dengan Maroko, signifikansi dari hubungan ini belum terlihat dengan jelas.
Dalam waktu kurang dari dua tahun, KTT pertama antara para diplomat tertinggi itu menjadi simbol persatuan. Mesir, negara Arab pertama yang menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel pada 1979, juga ambil bagian dalam konferensi itu, meski Yordania, negara Arab kedua yang berdamai dengan Israel pada 1994, tidak ikut serta.
Yordania menolak undangan untuk turut hadir. Selama penyelenggaraan konferensi enam pihak itu, Raja Yordania Abdullah II memilih berkunjung ke Ramallah di Tepi Barat yang diduduki untuk bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, menunjukkan solidaritasnya dengan warga Palestina.
Guzansky mengatakan konferensi tersebut menyoroti “pentingnya Israel” di kawasan itu dan mengirim sinyal ke musuh-musuh Israel, terutama Iran, Hizbullah di Lebanon, dan Hamas yang menguasai Jalur Gaza, wilayah kantong Palestina.
Dia mengatakan sistem pertahanan regional, yang “sedang dibangun secara bertahap,” sangat bergantung pada Israel dan negara-negara Arab Teluk.
“Namun demikian, ada bagian yang hilang di sini, terutama Arab Saudi, yang kemungkinan tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel sebelum konflik Israel-Palestina diselesaikan,” kata Guzansky.
KESEPAKATAN NUKLIR YANG MUNCUL
Israel memprakarsai pertemuan itu di tengah ketegangan antara AS dan para sekutunya di Timur Tengah. Israel dan negara-negara Arab Teluk berbagi kekhawatiran tentang potensi menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015. Di bawah kesepakatan itu, AS melonggarkan sanksi sebagai ganti atas komitmen Iran untuk membatasi program nuklirnya.
Pemerintahan AS sebelumnya yang dipimpin oleh mantan presiden Donald Trump secara sepihak menarik diri dari perjanjian itu pada 2018 dan kembali menjatuhkan sanksi terhadap Iran. Namun, pemerintah AS saat ini yang dipimpin Presiden Joe Biden berupaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan tersebut melalui pembicaraan yang digelar di Wina, ibu kota Austria.
Pembicaraan di Wina, yang sejauh ini telah digelar sebanyak delapan putaran, dilaporkan telah mendekati kesepakatan. Israel, musuh utama Iran di kawasan itu, sangat gigih menentang pembaruan kesepakatan tersebut, khawatir hal itu akan memungkinkan Iran mendapatkan senjata nuklir tanpa terbebani sanksi AS.
Dalam upaya untuk meredam kekhawatiran Israel dan negara-negara Arab, Blinken berjanji bahwa AS akan terus bekerja sama dengan para sekutunya untuk menghadapi “tantangan dan ancaman keamanan bersama, termasuk yang berasal dari Iran dan proksinya.”
Ori Goldberg, pakar Israel tentang Iran dari Lauder School of Government, Diplomacy, and Strategy di Universitas Reichman di Herzliya, mengatakan bahwa niat AS untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir itu mendorong Israel menggelar pertemuan tersebut.
“Israel menginginkan suatu gestur menjaga opsi untuk aksi regional (menentang Iran),” ujar Goldberg, seraya menambahkan bahwa Israel praktis tidak memiliki dukungan nyata untuk aksi semacam itu karena konferensi tersebut tidak mengeluarkan pernyataan jelas tentang isu Iran.
Chen Kertcher, dosen di Departemen Studi Timur Tengah di Universitas Ariel di Tepi Barat, mengatakan pertemuan itu digelar di tengah ketidakpuasan yang terus meningkat antara AS dan negara-negara Arab Teluk.
Negara-negara Arab Teluk berharap dapat menerima lebih banyak dukungan dari AS untuk membalas serangan dari pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman, sedangkan Washington mendesak mereka untuk memproduksi lebih banyak minyak bumi guna menenangkan pasar minyak bumi menyusul konflik Rusia-Ukraina, papar Kertcher.
Sejauh ini, negara-negara Arab Teluk, terutama Arab Saudi dan UEA yang memiliki kapasitas ekstra, menunjukkan sikap dingin terhadap Washington dengan menolak untuk menaikkan output minyak secara tiba-tiba. Mereka justru bersikeras untuk tetap berpegang pada rencana meningkatkan produksi minyak bumi secara perlahan sebagaimana disepakati oleh OPEC+, yang juga melibatkan Rusia.
Guzansky meyakini bahwa akibat meningkatnya ketegangan, Israel “muncul sebagai perantara bagi AS dan negara-negara Teluk.” Selesai