Sejumlah petugas polisi terlihat di jalanan dekat Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 19 September 2023, saat Sidang Umum PBB ke-78 sedang berlangsung. (Xinhua/Li Rui)
“Epidemi TBC tumbuh subur karena berbagai kesenjangan yang sudah dikenal luas seperti kemiskinan dan kekurangan gizi, dan semakin diperburuk oleh konflik, perubahan iklim, dan krisis lainnya,” kata Dennis Francis.
PBB, 22 September (Xinhua) — Para pemimpin dunia dalam pertemuan tingkat tinggi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai perang melawan tuberkulosis (TBC) pada Jumat (22/9) menyetujui sebuah deklarasi politik untuk memajukan upaya guna memberantas penyakit tersebut pada 2030.
Dokumen tersebut menjabarkan target-target baru yang ambisius untuk lima tahun ke depan, yang di antaranya menjangkau 90 persen orang dengan layanan pencegahan dan perawatan TBC, menyediakan paket tunjangan sosial bagi mereka yang mengidap penyakit ini, dan melisensikan setidaknya satu vaksin baru.
“Saya mengucapkan selamat kepada semua negara anggota atas disetujuinya draf deklarasi politik ini, yang akan saya serahkan kepada Majelis Umum untuk diadopsi secara resmi di kemudian hari,” kata Presiden Majelis Umum PBB Dennis Francis.
“Kita berkumpul hari ini dengan satu tujuan atau tekad dan mencoba menghidupkan kembali komitmen serta mempercepat kemajuan untuk memberantas TBC, penyakit yang telah berusia ribuan tahun, namun menjadi salah satu penyakit menular paling mematikan di dunia,” ujar Francis.
“Mengapa, setelah semua kemajuan yang telah kita capai, mulai dari mengirim manusia ke Bulan, hingga menghadirkan dunia di ujung jari kita, kita tidak mampu mengalahkan penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan yang membunuh lebih dari 4.400 orang per hari?” ungkapnya.
“Epidemi TBC tumbuh subur karena berbagai kesenjangan yang sudah dikenal luas seperti kemiskinan dan kekurangan gizi, dan semakin diperburuk oleh konflik, perubahan iklim, dan krisis lainnya,” kata Francis.
Sejumlah staf melakukan tes di laboratorium pusat pencegahan dan pengendalian penyakit regional di Lhasa, Daerah Otonom Tibet, China barat daya, pada 23 Maret 2018. Tibet telah menyelesaikan skrining penyakit hidatidosa pada akhir November 2017. Basis data penyakit telah ditingkatkan dengan menambahkan reumatik, AIDS, tuberkulosis, dan penyakit lainnya. (Xinhua/Jigme Dorje)
Pandemi COVID-19 membalikkan kemajuan yang telah dicapai selama bertahun-tahun dalam upaya untuk memberantas TBC, dan memberikan beban yang lebih berat bagi mereka yang terdampak, khususnya kelompok yang paling rentan, lanjut Francis.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed menyerukan tindakan untuk mengatasi penyebab utama infeksi, yakni kemiskinan, kekurangan gizi, kurangnya akses ke layanan kesehatan, prevalensi infeksi HIV, diabetes, kesehatan mental, dan merokok.
Stigma seputar penyakit ini perlu dikurangi sehingga masyarakat dapat memperoleh bantuan tanpa khawatir mengalami diskriminasi, ujarnya, seraya menambahkan bahwa pemerintah harus memastikan cakupan kesehatan universal yang mencakup skrining, pencegahan, dan pengobatan TBC.
Mohammed juga menyampaikan alasan pribadinya mendukung upaya global ini. “Komitmen saya adalah kisah pribadi saya: Kehilangan ayah saya karena TBC pada usia 50 tahun, 37 tahun yang lalu pekan ini,” tuturnya.
“Memberantas tuberkulosis adalah hal yang mungkin. Ini membutuhkan iktikad politik, komitmen keuangan, dan solidaritas global. Sistem PBB siap untuk mendukung semua upaya… Bersama-sama kita harus berjanji untuk mengerahkan seluruh daya upaya guna memberantas tuberkulosis untuk selamanya,” ungkap Mohammed.
TBC adalah penyakit menular paling mematikan nomor dua di seluruh dunia setelah COVID-19, dengan sekitar 1,6 juta kematian pada 2021 saja, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). [Xinhua]