Bendera nasional China terlihat di alun-alun di depan Istana Potala pada Hari Emansipasi Hamba Tani di Lhasa, ibu kota Daerah Otonom Xizang, China barat daya, pada 28 Maret 2024. (Xinhua/Jigme Dorje)
BEIJING, 14 Juli (Xinhua) — Amerika Serikat (AS) secara tidak patut kembali mencampuri urusan dalam negeri China dengan mengesahkan usulan draf undang-undang (UU) terkait Xizang menjadi UU. Langkah ini mendistorsi sejarah dan realitas Xizang sekaligus mengungkap praktik bermuka dua yang dilakukan AS.
Presiden AS Joe Biden mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa UU tersebut “tidak mengubah kebijakan bipartisan lama AS yang mengakui Daerah Otonom Tibet dan wilayah Tibet lainnya di China sebagai bagian dari Republik Rakyat China.” Berdasarkan sikap ini, apa yang disebut sebagai “UU Mempromosikan Penyelesaian Sengketa Tibet-China (Promoting a Resolution to the Tibet-China Dispute Act)”, yang murni merupakan UU domestik AS, merupakan campur tangan mencolok AS dalam urusan dalam negeri China. Bahkan, nama UU tersebut menyiratkan niat buruk.
Dalai Lama ke-14 dikenal luas sebagai orang yang terasing dengan alasan politik karena terlibat dalam kegiatan separatis anti-China dengan bersembunyi di balik kedok agama. Dia dan para pengikutnya telah lama mengupayakan “kemerdekaan Tibet”, dan mengkhianati China. Dalam hal kontak dan pembicaraan, pemerintah China telah secara konsisten dan jelas menyatakan bahwa Dalai Lama ke-14 harus sepenuhnya merenungkan dan mengoreksi proposisi politiknya secara menyeluruh.
Dalam contoh permainan kata lainnya, UU tersebut mengklaim bahwa “Pemerintah AS tidak pernah mengambil posisi bahwa Tibet adalah bagian dari China sejak zaman kuno.” Hal ini jelas mendukung dan menguatkan kelompok separatis. Sejak zaman kuno, daerah itu telah menjalin ikatan geografis, persaudaraan, politik, ekonomi, dan budaya yang tak terpatahkan dengan wilayah China lainnya.
UU itu penuh dengan distorsi dan kesalahan representasi yang disengaja. UU itu mengisyaratkan “penentuan nasib sendiri” bagi warga Tibet. Namun, hak untuk menentukan nasib sendiri ini ditujukan secara spesifik bagi penduduk koloni atau wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri untuk melawan kolonialisme dan imperialisme. Hak ini tentu saja tidak dapat diterapkan pada kelompok etnis yang hidup di bagian integral dari sebuah negara berdaulat. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutuk segala upaya yang mengganggu kesatuan nasional, integritas teritorial, atau kemerdekaan politik suatu negara.
UU tersebut sekali lagi membuktikan bahwa AS sedang memainkan “kartu Xizang” untuk membendung China. AS telah lama terlibat dalam manipulasi politik atas masalah-masalah yang berhubungan dengan Xizang dengan kedok membela hak asasi manusia (HAM). Manipulasi tersebut termasuk memberlakukan UU untuk mencemarkan dan mengacaukan stabilitas Xizang, serta menyediakan dana yang cukup besar bagi kekuatan separatis yang mendukung “kemerdekaan Tibet.”
Saat ini, Xizang merupakan wilayah yang dinamis dan berkembang. Sejak reformasi demokratis bersejarah pada 1959 yang menghapuskan sistem perbudakan, di mana Dalai Lama pernah menjadi ketua perwakilan sekaligus pembela yang gigih, daerah otonom itu telah mencapai kemajuan luar biasa dalam hal HAM. Xizang telah memberantas kemiskinan absolut, bersama dengan wilayah lain di China. Masyarakat dari berbagai kelompok etnis telah mendapatkan manfaat dari pencapaian menyeluruh di Xizang, yang meliputi stabilitas politik, keharmonisan sosial, pertumbuhan ekonomi, kemajuan ekologis, dan persatuan etnis.
Para petani berpartisipasi dalam sebuah upacara yang menandai dimulainya pertanian musim semi di Desa Gyaimain di wilayah Qonggyai di Shannan, Daerah Otonom Xizang, China barat daya, pada 16 Maret 2024. (Xinhua/Tenzing Nima Qadhup)
Para politisi AS mungkin bermimpi bahwa UU ini akan dapat berdampak pada stabilitas, keharmonisan, atau kemakmuran di daerah dataran tinggi tersebut. Namun, tidak ada negara bijaksana yang akan memberikan kepercayaan pada klaim-klaim di dalam UU tersebut, sehingga taruhan naif yang dibuat oleh AS dan kekuatan separatis tidaklah efektif. UU itu, yang merupakan contoh lain dari hegemoni AS, tidak akan berpengaruh selain mengikis kredibilitas internasional Washington yang sudah rapuh.
Negara-negara yang tidak memiliki kredibilitas akan memudar. Keterlibatan global AS yang negatif, seperti menghasut atau memicu perang, praktik unilateralisme dan standar gandanya, serta campur tangannya dalam urusan dalam negeri negara lain, makin mendorong kredibilitasnya ke ambang kehancuran.
Urusan yang berkaitan dengan Xizang menyangkut kepentingan inti China. AS harus belajar dari sejarah, memenuhi komitmennya terhadap China, serta menahan diri untuk tidak merongrong kedaulatan dan integritas teritorial China atas nama HAM atau dalih apa pun.
Jika AS terus mengambil langkah salah yang bermotif politik, penurunan statusnya di kancah internasional kemungkinan besar akan makin cepat dan berpotensi menimbulkan konsekuensi yang tidak dapat dipulihkan. [Xinhua]