BEIJING – Para pemimpin asosiasi industri, cendekiawan, dan pekerja dari Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut, pada Kamis (3/6) menangkis tudingan kerja paksa di Xinjiang, mengatakan bahwa tudingan itu tidak berdasar.
Tidak masuk akal untuk menyematkan label “kerja paksa” pada industri fotovoltaik di kawasan tersebut, karena produksi polisilikon merupakan produksi yang sarat teknologi dan modal, bukan tenaga kerja, kata Pan Cunxiang, sekretaris jenderal asosiasi industri logam nonbesi regional, dalam konferensi pers di Beijing.
Arkin Shamshaq, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Xinjiang, mengatakan tidak ada negara, organisasi, atau orang yang dapat secara subjektif berasumsi “kerja paksa” itu ada atau tidak.
“Menurut definisi dari konvensi internasional, ketentuan hukum di China, serta fakta di lapangan, tidak ada kerja paksa di Xinjiang. Tidak mungkin kerja paksa terjadi di sana,” tuturnya.
Liu Qingjiang, wakil presiden sebuah asosiasi industri tekstil di Xinjiang, menyampaikan bahwa peralatan canggih dan perangkat otomatis telah digunakan secara luas di perusahaan-perusahaan tekstil di Xinjiang.
“Bengkel kerja manufaktur pintar yang baru dibangun di Xinjiang menunjukkan level pembangunan industri tertinggi di China. Tidak ada yang namanya kerja paksa di Xinjiang,” ujar Liu.
Akbar Turahun, seorang pekerja di sebuah perusahaan tekstil di Prefektur Aksu di Xinjiang, mengatakan bahwa gajinya dinaikkan dan dirinya dipromosikan menjadi ketua tim di perusahaan tersebut setelah bekerja selama dua tahun.
Akbar Turahun sebelumnya adalah seorang penggembala dari sebuah keluarga miskin. Kini, dia dan istrinya, yang juga bekerja di perusahaan tekstil yang sama, mendapatkan penghasilan lebih dari 8.000 yuan (1 yuan = Rp2.237) per bulan.
“Kami sekarang merasa sangat bahagia. Kami bertekad untuk terus bekerja keras di perusahaan dan berencana membeli apartemen di dekatnya,” kata Turahun. [Xinhua]