Orang-orang melakukan pencarian di antara reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan udara Israel di kamp Nuseirat, Jalur Gaza tengah, pada 7 November 2024. (Xinhua/Marwan Dawood)
GAZA, 11 November (Xinhua) — Dengan kondisi yang sangat terguncang, Mohammed Alloush, seorang pria Palestina dari Jabalia di Jalur Gaza utara, bergegas pergi ke rumah kerabatnya untuk melihat keadaan di sana pascaserangan tentara Israel pada Minggu (10/11).
Saat tiba di sana bersama puluhan tetangganya, Alloush terkejut mendapati bangunan yang pernah dihuni lebih dari 50 orang itu sudah hancur total.
“Kami mendengar teriakan minta tolong dari bawah reruntuhan. Beberapa orang masih hidup. Saya harus membantu dan menyelamatkan mereka,” ujar Alloush kepada Xinhua dengan suara bergetar.
Meskipun begitu, baik Alloush maupun perespons lainnya tak satu pun memiliki peralatan yang dapat digunakan untuk menyelamatkan para korban.
“Kami terpaksa menggali dengan tangan untuk menolong korban yang terluka dan mengeluarkan jenazah semampu kami,” kata ayah empat anak berusia 35 tahun itu sambil menggendong jenazah seorang anak.
“Situasinya sangat berbahaya di sini, karena tentara Israel kemungkinan akan kembali menyerang bangunan ini, tetapi kami harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan sebanyak mungkin orang,” tuturnya.
Orang-orang melakukan pencarian di antara reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan udara Israel di kamp Nuseirat, Jalur Gaza tengah, pada 7 November 2024. (Xinhua/Marwan Dawood)
Alloush mengatakan bahwa dia dan tetangganya harus menguburkan jenazah para korban di tempat yang layak, dan membawa para korban luka ke Rumah Sakit Kamal Adwan dan Rumah Sakit Indonesia, yang sudah tidak beroperasi, menggunakan kereta keledai.
Sebelumnya pada Minggu, tentara Israel menewaskan sedikitnya 36 anggota keluarga Alloush dalam serangan yang menyasar rumah mereka di kamp pengungsi Jabalia, menurut penduduk setempat dan sumber-sumber medis.
Menurut klaim militer Israel, serangan tersebut merupakan bagian dari serangan militer berskala besar Israel yang masih berlanjut di wilayah itu sejak 5 Oktober, dengan tujuan menghabisi anggota Hamas yang tersisa dan mencegah kelompok tersebut kembali berkumpul di wilayah itu.
Mahmoud Basal, juru bicara Pertahanan Sipil Palestina di Gaza, mengatakan militer Israel memaksa tim-tim Pertahanan Sipil meninggalkan wilayah itu dan mengepung banyak warga setempat di dalam rumah mereka.
Israel telah melancarkan serangan besar-besaran terhadap Hamas di Jalur Gaza untuk membalas serangan Hamas di perbatasan Israel selatan pada 7 Oktober 2023. Serangan Hamas tersebut menyebabkan sekitar 1.200 orang tewas dan sekitar 250 lainnya disandera.
Jumlah warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel yang masih berlangsung di Jalur Gaza telah bertambah menjadi 43.603 orang, dengan jumlah korban luka mencapai 102.929 orang, menurut otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza dalam sebuah pernyataan pada Minggu.
Orang-orang melakukan operasi penyelamatan di sebuah sekolah yang diubah menjadi tempat penampungan setelah aksi pengeboman Israel di kamp pengungsi al-Shati, sebelah barat Gaza City, pada 7 November 2024. (Xinhua/Mahmoud Zaki)
Di Jalur Gaza utara, serangan Israel menewaskan lebih dari 1.800 orang, melukai sekitar 4.000 lainnya, serta ratusan warga masih dinyatakan hilang, selain menghancurkan semua rumah sakit di wilayah itu, demikian disampaikan oleh kantor media pemerintah yang dikelola Hamas pada Senin (4/11) dalam sebuah pernyataan pers.
Sementara itu, operasi penyelamatan sulit dilakukan di Gaza City, bahkan dengan kehadiran badan Pertahanan Sipil .
Pada Sabtu (9/11) malam waktu setempat, tentara Israel menewaskan sedikitnya lima warga Palestina dalam serangan terhadap rumah keluarga al-Khour di kawasan Tal al-Hawa di sebelah barat Gaza City.
“Sangat sulit bagi ambulans dan Pertahanan Sipil untuk mencapai area tersebut dengan cepat, jadi saya memutuskan untuk menyelamatkan para korban yang selamat dengan tangan kosong tanpa alat bantu dan menarik keluar jenazah yang tertimbun untuk menguburkan mereka pada pagi hari,” ungkap Mohammed Doghmosh, warga Palestina berusia 25 tahun, kepada Xinhua.
Doghmosh mengatakan dia dan teman-temannya menggunakan senter di ponsel mereka untuk melihat dengan jelas di antara reruntuhan sehingga mereka dapat secepatnya mengeluarkan para korban.
“Setiap saat, kami berlomba melawan kematian, perang, dan waktu. Jadi, kami harus menjalankan misi ini dengan tangan kami sendiri dan saling membantu sebaik mungkin,” imbuhnya. [Xinhua]