WASHINGTON – “Tidak setetes pun” air yang terkontaminasi radioaktif di Fukushima, Jepang, boleh dilepaskan ke laut sampai dunia benar-benar yakin air tersebut telah diolah untuk menghilangkan kadar nuklidanya hingga ke “level yang tidak dapat dideteksi,” kata seorang ahli biologi konservasi laut terkemuka Amerika Serikat (AS) kepada Xinhua saat diwawancara pada Rabu (21/4).
Pekan lalu, pemerintah Jepang mengumumkan rencana untuk membuang air limbah yang terkontaminasi radioaktif di Prefektur Fukushima ke laut.
“Sebelum (air limbah radioaktif) dilepaskan ke laut, dunia berhak tahu secara terperinci mengenai jenis radioisotop yang terkandung dalam air limbah itu, berapa besar konsentrasinya, dan apakah semua air limbah itu telah diolah dengan metode teknologi terbaik yang ada guna menghilangkan semua radionuklida hingga ke level yang tidak dapat dideteksi,” kata Rick Steiner, mantan profesor konservasi laut di Universitas Alaska.
Menurut laporan dari sebuah organisasi yang meneliti pengolahan air limbah dari insiden nuklir Fukushima, per 31 Desember 2019, 73 persen air limbah nuklir tersebut telah melebihi standar pembuangan Jepang setelah diolah dengan sistem pengolahan cairan canggih (advanced liquid processing system/ALPS) yang mampu menghilangkan sebagian besar kontaminan.
Tokyo Electric Power Company (TEPCO), operator yang menangani air limbah dari kebocoran nuklir Fukushima, memiliki catatan menutup-nutupi kebenaran dan memalsukan informasi, menurut sejumlah laporan media.
“TEPCO dan pemerintah Jepang terkesan tidak transparan dalam masalah Fukushima,” kata Steiner kepada Xinhua.
Dia menyebut rencana pembuangan air limbah radioaktif oleh Jepang itu sebagai “ide yang sangat buruk” karena sejumlah alasan. Menurutnya, hal tersebut dapat menyebabkan ekosistem laut di Pasifik Utara semakin rentan terhadap risiko, memiliki urgensi yang rendah mengingat opsi penyimpanan jangka panjang masih lebih masuk akal dan bijaksana, kemungkinan dipandang ilegal menurut hukum internasional, dan juga sangat tidak etis.
“Kami tidak bisa lagi menerima pembuangan limbah industri berbahaya ke salah satu lautan global kami,” kata Steiner, yang kerap memberikan konsultasi terkait masalah lingkungan laut kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sejumlah pemerintahan dan lembaga swadaya masyarakat.
“Sejauh menyangkut risiko ekologi, kami hingga saat ini belum mengetahui secara rinci jenis radionuklida apa dan berapa banyak konsentrasinya di dalam tangki, tetapi kami tahu ada radioaktif sesium-137, tritium, Karbon-14, Kobalt-60, Strontium-90, Yodium-129, dan lebih dari 50 jenis nuklida lainnya. Beberapa di antaranya mungkin sudah dihilangkan, namun sebagian lainnya belum,” ujar Steiner.
“Kita semua perlu tahu,” tegasnya.
Komunitas internasional harus membentuk komisi ilmiah dan teknologi internasional, yang disetujui oleh pemerintah Jepang, untuk melakukan pengawasan ilmiah yang independen terhadap semua aspek pembersihan Fukushima, termasuk masalah air limbah ini, kata Steiner.
Kelompok internasional ini harus beroperasi secara independen dari Badan Energi Atom Internasional, imbuhnya.
Steiner menilai jika air yang terkontaminasi disimpan selama 15 hingga 30 tahun lagi, radioaktif tritium akan rusak 50 hingga 75 persennya. Ini akan memberikan waktu yang cukup untuk mengolah air yang terkontaminasi secara efektif.
Keputusan Jepang untuk membuang air limbah ke laut telah memicu penolakan dari masyarakat Jepang dan sejumlah kelompok lingkungan global. Rencana ini juga menimbulkan kekhawatiran di negara-negara tetangga tentang kemungkinan adanya dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan bisnis perikanan di kemudian hari.
“Dampak ekologis dari pembuangan limbah radioaktif yang terus-menerus ke Pasifik Utara mungkin cukup besar,” kata Steiner.
Beberapa jenis kontaminan dapat masuk ke organisme hidup, dan beberapa di antaranya dapat menyebabkan gangguan reproduksi, kerusakan sel, cedera genetik, hingga kanker, jelasnya.
“Risiko ini sepenuhnya dapat dicegah dengan memanfaatkan penyimpanan jangka panjang di darat dan sistem pengolahan teknologi terbaik yang ada saat ini,” imbuh Steiner. [Xinhua]