BEIJING – Pemanasan iklim yang cepat telah menyebabkan ketidakseimbangan air di wilayah Kutub Ketiga, yang berujung pada semakin tingginya permintaan air di negara-negara hilir berpenduduk padat, menurut sebuah studi baru.
Dengan penyimpanan air beku global terbesar setelah Antartika dan Arktik, wilayah Kutub Ketiga yang terletak di Dataran Tinggi Qinghai-Tibet itu merupakan rumah bagi hulu dari sepuluh lebih sungai besar di Asia. Wilayah itu dikenal sebagai “Menara Air Asia” karena menyediakan pasokan air yang andal bagi hampir dua miliar orang. Namun, sebuah artikel yang diterbitkan pekan ini di jurnal Nature Review Earth & Environment mengatakan bahwa wilayah itu telah kehilangan keseimbangan antara air dalam bentuk padat di gletser dan air dalam bentuk cair di danau sekaligus sungai akibat dampak perubahan iklim global.
Kenaikan suhu dengan perubahan pada angin-angin yang bertiup dari barat serta monsun India telah menyebabkan penyusutan gletser serta meningkatnya curah hujan di bagian utara wilayah itu, sedangkan bagian selatan mengalami penurunan. Ketidakseimbangan spasial ini pada akhirnya akan mengurangi kelangkaan air di cekungan sungai Kuning dan Yangtze, tetapi menambah kelangkaan air di cekungan Indus selatan, papar penelitian tersebut.
“Ketidakseimbangan seperti itu kemungkinan akan menimbulkan tantangan besar bagi keseimbangan pasokan-permintaan sumber daya air di daerah hilir,” kata Yao Tandong, penulis utama studi dan akademisi di Akademi Ilmu Pengetahuan China (Chinese Academy of Sciences/CAS).
Permintaan air tertinggi diperkirakan akan terjadi di area cekungan Indus, kata Walter Immerzeel, salah satu penulis studi dan peneliti di Universitas Utrecht Belanda. Dia menekankan bahwa permintaan ini akan memengaruhi irigasi, meliputi lebih dari 90 persen penggunaan air di seluruh area tersebut.
“Mengingat disparitas utara-selatan ini diperkirakan akan semakin diperparah oleh pemanasan iklim di masa depan, kebijakan adaptasi untuk pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan sangat dibutuhkan di negara-negara hilir,” kata salah satu penulis Piao Shilong, yang juga seorang peneliti di Universitas Peking.
Para ilmuwan dalam penelitian itu menyatakan mereka masih membutuhkan lebih banyak informasi untuk membantu masyarakat merespons perubahan, seperti pos pemantauan yang komprehensif di daerah yang minim data. Mereka juga menyerukan adanya kolaborasi antara negara-negara hulu dan hilir. [Xinhua]