WASHINGTON – Perekonomian global sedang dalam tahap pemulihan dengan beragam kecepatan yang semakin didukung oleh China dan Amerika Serikat (AS), dua perekonomian terbesar di dunia, demikian disampaikan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva pada Selasa (30/3).
“Meski prediksi telah membaik secara keseluruhan, ada perbedaan prospek yang berpotensi merugikan tidak hanya di lingkup domestik tetapi juga lintas negara dan kawasan,” kata Georgieva dalam pidato singkat menjelang pertemuan musim semi virtual 2021 antara IMF dan Bank Dunia yang dijadwalkan dimulai pekan depan.
“Faktanya, apa yang kita lihat adalah pemulihan dengan beragam kecepatan, yang semakin didukung oleh dua ‘mesin’, (yaitu) AS dan China,” katanya, seraya menambahkan bahwa kedua negara itu adalah bagian dari segelintir negara yang akan jauh melampaui tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) prakrisis per akhir 2021.
Namun, kerugian kumulatif dalam hal pendapatan per kapita, jika dibandingkan dengan proyeksi sebelum krisis, akan mencapai 11 persen di perekonomian-perekonomian maju per tahun depan, sementara di perekonomian berkembang dan emerging, tidak termasuk China, akan mencapai 20 persen, kata Georgieva.
“Hilangnya penghasilan ini berarti jutaan orang akan menghadapi kemiskinan, kehilangan tempat tinggal, dan kelaparan,” katanya.
Georgieva juga mengatakan IMF akan menaikkan proyeksi pertumbuhan global untuk tahun 2021 dan 2022 pekan depan saat merilis edisi terbaru laporan World Economic Outlook.
“Kami kini memperkirakan percepatan lebih lanjut, yang sebagian disebabkan oleh dukungan kebijakan tambahan, termasuk paket fiskal baru di AS, dan sebagian lagi dipicu oleh pemulihan dengan dukungan vaksin yang akan terjadi di banyak perekonomian maju tahun ini,” paparnya.
Pada Januari, IMF memproyeksikan bahwa perekonomian global akan tumbuh 5,5 persen pada 2021, 0,3 poin persentase di atas proyeksinya Oktober lalu.
Kendati demikian, masih ada “ketidakpastian yang sangat tinggi” akibat pandemi COVID-19 di masa depan, kata Georgieva.
“Begitu banyak hal bergantung pada perkembangan pandemi, yang kini dipengaruhi oleh progres vaksinasi yang tidak merata dan galur baru virus yang menghambat prospek pertumbuhan, terutama di Eropa dan Amerika Latin,” katanya.
Georgieva juga memperingatkan bahwa pemulihan AS yang lebih cepat dapat memicu kenaikan suku bunga yang cepat pula. Hal ini dapat menyebabkan pengetatan tajam kondisi keuangan dan arus keluar modal (capital outflow) yang signifikan dari sejumlah perekonomian berkembang dan emerging.
“Ini akan menghadirkan sejumlah tantangan besar terutama bagi negara-negara berpenghasilan menengah dengan kebutuhan pendanaan eksternal yang besar dan tingkat utang yang tinggi. Banyak di antaranya akan membutuhkan lebih banyak dukungan,” katanya.
IMF telah menyediakan lebih dari 107 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp14.481) untuk pendanaan baru bagi 85 negara serta pembatalan utang (debt relief) untuk 29 negara termiskin, menurut Georgieva.
IMF juga sedang mempertimbangkan kemungkinan alokasi Hak Penarikan Khusus (Special Drawing Right/SDR) baru senilai 650 miliar dolar AS untuk membantu menggenjot pemulihan global dari pandemi.
“Ini akan menguntungkan semua anggota kami, tetapi terutama untuk yang paling rentan, dengan meningkatkan cadangan tanpa menambah beban utang. Ini akan mengirimkan sinyal kuat solidaritas multilateral, membebaskan sumber daya untuk program vaksinasi dan kebutuhan mendesak lainnya,” katanya. [Xinhua]