JAKARTA – Tren penurunan kasus COVID-19 belakangan ini dan pelonggaran kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membawa angin segar bagi banyak warga Indonesia.
“Berdasarkan riset kami, warga Indonesia sudah tidak sabar menunggu pembukaan berbagai destinasi wisata. Mereka sangat ingin berlibur,” kata Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Nunung Rusmiati kepada Xinhua.
Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan PPKM sejak awal Juli, menyusul lonjakan kasus virus corona lantaran varian Delta yang sangat menular.
Memasuki Agustus, tanda-tanda positif mulai terlihat. Seiring penurunan jumlah kasus dan kenaikan tingkat vaksinasi, semakin banyak tempat di Jawa dan Bali yang menurunkan status pembatasan dari Level 4, level tertinggi.
Sejumlah atraksi wisata di kota-kota yang memberlakukan PPKM Level 3 diizinkan untuk kembali buka dengan menerapkan kapasitas terbatas hanya untuk pengunjung yang sudah divaksin. Perjalanan antarkota untuk berlibur pun dapat dilakukan.
Hal ini tentu saja menggembirakan, tetapi juga mengkhawatirkan. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (RI) Sandiaga Uno menyebutkan dalam sejumlah kesempatan baru-baru ini bahwa sektor pariwisata harus bersiap-siap menghadapi “liburan balas dendam”, khususnya di daerah-daerah seputar Jakarta.
“Kita menyambut baik pelonggaran PPKM di beberapa wilayah di Jawa dan Bali, tetapi kita harus tetap waspada dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan disiplin,” kata Uno dalam konferensi pers pada Senin (30/8). Isu keamanan dan pengeluaran membuat Edi Yamin, ketua sebuah komunitas backpacker di Jakarta, sangat khawatir.
“Saya rasa kemungkinan untuk tertular tetap tinggi saat ini. Melakukan perjalanan selama pandemi juga lebih mahal. Untuk naik pesawat, kita harus melakukan tes PCR atau antigen terlebih dahulu, yang harganya jauh lebih mahal di luar (pulau) Jawa,” urai Yamin.
Yamin masih mengingat dengan jelas perjalanan terakhirnya ke kepulauan Nusa Tenggara pada Juli tahun lalu. “Saya dan teman-teman berangkat dari Jakarta dalam keadaan sehat. Namun, saat waktunya pulang, beberapa dari kami teruji positif dan terpaksa tinggal di sana untuk jangka waktu yang lama,” tuturnya.
“Banyak klaster infeksi COVID-19 bermula dari perjalanan, seperti yang terjadi di Italia dan Spanyol pada musim panas tahun lalu. Wisatawan yang pulang dari berlibur membawa virus tersebut,” kata Dicky Budiman, seorang pakar epidemiologi di Universitas Griffith, dalam konferensi pers baru-baru ini yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI. Untuk bisnis yang berkaitan dengan pariwisata, perasaan campur aduk lebih terasa.
“Kami senang pemerintah melonggarkan pembatasan, dan sebagai pengusaha, kami harus memanfaatkan peluang ini. Namun, kami juga khawatir karena terkadang wisatawan terlalu senang sehingga kurang berhati-hati,” kata Asnawi Bahar, pemilik sebuah agensi perjalanan di Bali. “Jika infeksi klaster terjadi, kami tentunya akan disalahkan oleh masyarakat. Kami tidak bisa membiarkan itu terjadi.”
Oleh karena itu, mempersiapkan solusi yang tepat agar semua berjalan mulus bagi hiruk-pikuk liburan ini menjadi masalah besar bagi agensi perjalanan.
Rusmiati mengatakan bahwa untuk meminimalkan risiko penularan, kuncinya adalah dengan memantau para wisatawan secara saksama. “Misalnya, kami telah meminta agensi-agensi perjalanan untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat, memprioritaskan konsumen keluarga dan rombongan wisatawan yang terdiri tidak lebih dari 25 orang, serta berkolaborasi dengan maskapai demi pelacakan yang lebih cepat.”
Sementara itu, aplikasi tes dan pelacakan COVID-19 bernama PeduliLindungi dipandang banyak kalangan sebagai alat yang bermanfaat untuk menyaring pelancong yang berpotensi berbahaya karena aplikasi tersebut mencatat status vaksinasi dan tempat-tempat yang pernah dikunjungi seseorang.
“Implementasi protokol kesehatan berbasis digital via PeduliLindungi ini menjadi kunci untuk mencegah munculnya kembali masa-masa sulit yang pernah kita hadapi Juli lalu,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI Luhut Binsar Pandjaitan pada awal September.
Sampai dengan 5 September, pengguna aplikasi tersebut mencapai hampir 21 juta, dengan 761.000 di antaranya dalam kategori merah, yang berarti mereka tak diizinkan masuk ruang-ruang publik, seperti pusat perbelanjaan, pabrik, dan fasilitas olahraga. Budiman yakin PeduliLindungi merupakan salah satu faktor menjanjikan untuk pemulihan pariwisata, walaupun aplikasi tersebut masih memiliki beberapa keterbatasan. Aplikasi itu diharapkan dapat berfungsi sebagai analisis risiko.
“Setiap negara seharusnya memiliki peta rencana untuk pemulihan. Kita tidak dapat menunggu sampai pandemi berakhir untuk bisa melakukan segala hal,” ujar Budiman. “Pelajaran pentingnya adalah bahwa di masa depan, industri pariwisata harus lebih baik dalam manajemen krisis. Kita harus membentuk sebuah sistem yang dapat merespons ancaman di masa mendatang dengan cepat, termasuk pandemi dan bencana alam.” [Xinhua]