NEW YORK CITY – Teori kebocoran laboratorium tentang pandemi COVID-19 yang melanda saat ini tidak didukung bukti kuat, seperti dilaporkan media berita Amerika Serikat (AS), Foreign Policy, baru-baru ini.
“Meskipun teori itu dilaporkan, namun banyak kantor media yang juga menganggapnya sebagai penyebaran konspirasi. Kemungkinan kecelakaan laboratorium rutin menjadi terjebak dalam teori tentang senjata biologis dan perang kuman,” kata media itu dalam sebuah laporan yang dirilis pada Selasa (15/6).
“Para ilmuwan sangat ingin memfokuskan perdebatan tentang bagaimana menangani pandemi, bukan perselisihan geopolitik,” papar Foreign Policy, seraya menambahkan bahwa “selain potongan-potongan informasi itu, semuanya hanyalah spekulasi.”
Seorang siswa yang mengenakan masker dan pelindung wajah menghadiri kelas selama uji coba pembelajaran tatap muka di sebuah sekolah di Jakarta pada 7 April 2021. (Xinhua/Agung Kuncahya B.)
Meskipun isu itu terus muncul, bukan berarti kebocoran laboratorium mungkin terjadi dan “hanya ada sedikit bukti baru dan kuat yang menunjukkan teori kebocoran laboratorium,” kata Foreign Policy dalam laporannya. “Salah satu bagian paling efektif dari teori kebocoran laboratorium bukanlah kualitas bukti melainkan kuantitas. Potongan dan serpihan (bukti) dikeluarkan dengan cepat, beberapa di antaranya bahkan bertentangan satu sama lain, sebelum dapat didiskusikan atau dipecahkan secara memadai.”
“Saya rasa kita tidak menemukan sesuatu yang baru dalam beberapa bulan terakhir,” ujar Stephen Goldstein, yang mempelajari virologi evolusioner di Universitas Utah, seperti dikutip Foreign Policy. “Kita benar-benar kekurangan bukti.”
Ilmu pengetahuan telah mengonfirmasi bahwa virus COVID-19 merupakan “virus alami”, bukan senjata biologis, tambah laporan itu. [Xinhua]