BERLIN – Sekitar 350.000 orang di Jerman diketahui menderita sejumlah gejala jangka panjang infeksi COVID-19, tutur Menteri Pendidikan dan Riset Jerman Anja Karliczek di Berlin pada Senin (31/5).
“Hal berbahaya” terkait sindrom pasca-COVID, yang secara informal juga disebut “long COVID”, adalah “gejalanya muncul secara independen selama periode terjangkit penyakit itu,” terlepas dari apakah pasien menderita penyakit COVID-19 parah atau ringan, ujar Karliczek.
Menurut data resmi, lebih dari 3,5 juta warga Jerman telah tertular COVID-19. Satu dari 10 orang di Jerman diperkirakan bergulat dengan konsekuensi jangka panjang yang berlangsung selama lebih dari tiga bulan, imbuhnya.
Gejala “long COVID” bersifat “sangat individual dan sangat berbeda,” kata Karliczek. Sekitar 50 gejala telah diidentifikasi memiliki keterkaitan terhadap “long COVID”, dengan sakit kepala berulang, rasa lelah yang ekstrem, dan sesak napas menjadi gejala yang paling umum ditemukan.
Karliczek mengumumkan program pendanaan baru untuk penelitian lebih lanjut terkait “long COVID”, yang akan menyediakan dana awal sebesar 5 juta euro (1 euro = Rp17.453). Hasil dari program itu juga akan memberikan pedoman bagi penelitian dan pendanaan lebih lanjut.
“Long COVID juga akan berdampak signifikan terhadap sistem perawatan kesehatan kita. Kita sedang menghadapi tantangan besar di masyarakat dan juga isu pembiayaan yang serius,” lanjut Karliczek.
Pada Maret tahun lalu, Jerman mendirikan jaringan penelitian baru untuk rumah-rumah sakit universitas yang terlibat dalam upaya memerangi COVID-19. Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman (BMBF) mendukung jaringan ini melalui kucuran dana senilai 150 juta euro hingga akhir tahun ini.
Saat ini, hampir 3,7 juta kasus penularan COVID-19 dilaporkan secara resmi di Jerman sejak pandemi mulai merebak. Jumlah kematian akibat penyakit itu naik menjadi 88.442 pada Senin, menurut Robert Koch Institute (RKI). [Xinhua]