HANGZHOU, 14 Desember (Xinhua) — Sebuah penelitian kolaboratif oleh ilmuwan Amerika Serikat (AS) dan China menemukan bukti jejak bir beras yang berasal dari 10.000 tahun silam di sebuah situs kuno di Provinsi Zhejiang, China timur, memberikan wawasan baru mengenai asal-usul pembuatan minuman beralkohol di Asia Timur.
Penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences ini dilakukan bersama oleh para peneliti dari Universitas Stanford, Institut Geologi dan Geofisika (Institute of Geology and Geophysics/IGG) yang dinaungi Akademi Ilmu Pengetahuan China (Chinese Academy of Sciences/CAS), serta Institut Peninggalan Budaya dan Arkeologi (Institute of Cultural Relics and Archaeology/ICRA) Provinsi Zhejiang.
Tim peneliti ini menganalisis 12 pecahan tembikar dari fase awal situs arkeologis Shangshan di wilayah Pujiang, Provinsi Zhejiang.
“Pecahan-pecahan tembikar ini berkaitan dengan berbagai jenis bejana, termasuk yang digunakan untuk fermentasi, penyimpanan, dan masak-memasak,” kata Jiang Leping, seorang peneliti dari ICRA.
Para peneliti melakukan ekstraksi dan analisis mikrofosil pada residu dari permukaan bagian dalam tembikar, tanah liat tembikar, dan sedimen lapisan budaya di sekitarnya.
“Kami berfokus pada identifikasi fitolit (phytolith), butiran pati, dan jamur untuk mendapatkan gambaran tentang penggunaan tembikar ini serta metode pengolahan makanan yang digunakan di situs tersebut,” kata Liu Li, seorang peneliti dari Universitas Stanford, peneliti utama dalam makalah penelitian tersebut.
Analisis fitolit mengungkapkan keberadaan fitolit beras hasil budi daya dalam jumlah yang signifikan di dalam residu dan tanah liat tembikar tersebut. “Bukti ini menunjukkan bahwa padi merupakan sumber daya tanaman pokok bagi masyarakat Shangshan saat itu,” kata Zhang Jianping, seorang peneliti dari IGG.
Tim peneliti juga menemukan berbagai butiran pati dalam residu tembikar. Banyak dari butiran pati tersebut menunjukkan tanda-tanda degradasi enzimatik dan gelatinisasi, yang merupakan ciri-ciri proses fermentasi.
Penelitian ini juga mengungkapkan elemen jamur yang melimpah, termasuk jamur Monascus dan sel ragi, di mana beberapa di antaranya menunjukkan tahap perkembangan yang khas dari proses fermentasi. Jamur ini berkaitan erat dengan bahan biang (starter) qu yang digunakan dalam metode pembuatan bir tradisional.
Tim peneliti menganalisis distribusi sisa-sisa Monascus dan ragi di berbagai jenis bejana tembikar dan menemukan konsentrasi yang lebih tinggi pada guci-guci berbentuk bola dibandingkan dengan sebuah panci masak dan sebuah baskom pengolahan. Distribusi ini menunjukkan bahwa jenis bejana berkaitan erat dengan fungsi tertentu, di mana bejana berbentuk bola memang dibuat untuk fermentasi alkohol.
Menurut penelitian tersebut, kemunculan teknologi pembuatan bir ini pada awal kebudayaan Shangshan berkaitan erat dengan budi daya padi dan iklim yang hangat serta lembap di masa Holosen awal.
“Beras yang dibudi daya menyediakan sumber daya yang stabil untuk fermentasi, sementara kondisi iklim yang ideal mendukung pengembangan teknologi fermentasi berbasis qu, yang mengandalkan pertumbuhan jamur berfilamen,” kata Liu.
“Minuman beralkohol ini kemungkinan besar memainkan peran penting dalam pesta seremonial, menyoroti signifikansi ritual dari minuman tersebut sebagai kekuatan pendorong potensial di balik peningkatan penggunaan dan penanaman padi secara meluas di China periode Neolitikum,” tambah Liu.
Bukti fermentasi alkohol beras di Shangshan ini menjadi kemunculan paling awal yang telah diketahui dari teknologi fermentasi di Asia Timur, yang menawarkan wawasan baru tentang interaksi kompleks antara budi daya beras, produksi minuman beralkohol, dan formasi sosial selama awal masa Holosen di China, urai penelitian tersebut. Selesai