Para pengunjung mengabadikan foto di stan Intel dalam ajang Pameran Perdagangan Jasa Internasional China (China International Fair for Trade in Services/CIFTIS) 2023 di China National Convention Center di Beijing, ibu kota China, pada 4 September 2023. (Xinhua/Li Xin)
BEIJING, 29 Oktober (Xinhua) — Langkah terbaru Amerika Serikat (AS) untuk mengekang investasi teknologi tinggi di China pada akhirnya akan menjadi bumerang, menghambat pertumbuhan negaranya sendiri dan juga membahayakan pemulihan ekonomi global yang rentan.
Pemerintah AS pada Senin (28/10) mengumumkan regulasi baru yang membatasi investasi di sektor semikonduktor, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), dan teknologi kuantum di China. Regulasi ini berlaku mulai Januari tahun depan.
Langkah ini bertepatan dengan pengumuman pada Senin yang sama oleh raksasa semikonduktor AS, Intel, tentang rencana ekspansi senilai 300 juta dolar AS (1 dolar AS = Rp15.760) untuk basisnya di China barat daya. Hal ini sekali lagi menunjukkan bagaimana kebijakan Washington bertentangan dengan penilaian, pilihan, dan kepentingan bisnis AS.
Bagi perusahaan-perusahaan raksasa teknologi AS seperti Intel, Apple, Tesla, Nvidia, dan Qualcomm, China merupakan pasar yang sangat dibutuhkan dengan potensi signifikan untuk menghasilkan keuntungan, yang pada gilirannya dapat mendorong penelitian dan pengembangan ekstensif mereka.
Kendati demikian, regulasi yang restriktif ini berisiko melumpuhkan perusahaan teknologi AS di pasar yang digerakkan oleh teknologi dan bertumbuh pesat, sehingga menempatkan mereka pada posisi yang tidak menguntungkan dalam persaingan secara global.
Pasar semikonduktor global saat ini sedang dalam pemulihan yang diperoleh dengan susah payah, yang sebagian besar didorong oleh performa China yang kuat.
Menurut data terbaru dari Asosiasi Industri Semikonduktor AS (U.S. Semiconductor Industry Association), penjualan semikonduktor China melonjak 19,2 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada Agustus. Angka itu kontras dengan penjualan semikonduktor di Jepang yang tumbuh moderat 2 persen dan penurunan sebesar 9 persen di Eropa pada periode yang sama.
Para pembuat kebijakan di AS dan China sangat menantikan revolusi teknologi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, mengisolasi diri dari perekonomian terbesar kedua di dunia itu akan sangat merugikan perusahaan-perusahaan teknologi AS yang berada di garis depan revolusi tersebut.
Selain itu, pendekatan ini sangat berlawanan dengan prinsip-prinsip ekonomi pasar dan persaingan yang sehat. Ini juga bertentangan dengan jaminan Presiden AS Joe Biden bahwa pemerintahannya tidak mendorong agenda “pemisahan diri” (decoupling) dari China.
Kekhawatiran AS akan kehilangan keunggulan teknologinya dapat dipahami. Namun, menghalangi kemajuan negara lain tidak akan meningkatkan posisinya. Demikian pula, menganggap China sebagai “saingan strategis” dan menggunakan perdagangan serta investasi sebagai senjata untuk memajukan agenda yang bermuatan politik dan bias ideologis akan menghasilkan sebuah skenario tanpa pemenang.
Semangat kewirausahaan yang pernah mengantarkan AS menuju kejayaan juga sangat penting untuk kesuksesan negara itu di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah AS sebaiknya lebih mendengarkan suara para pelaku bisnis alih-alih menghalangi jalan mereka. [Xinhua]