Foto tak bertanggal berikut menunjukkan seorang inspektur jejak karbon mengambil sampel tanah di sebuah perkebunan durian di Sanya, Provinsi Hainan, China selatan. (Xinhua/Universitas Pertanian Nanjing)
BEIJING, 2 Agustus (Xinhua) — Buah-buahan tidak hanya menawarkan rasa yang lezat, namun juga meninggalkan jejak karbon yang cukup besar selama proses budi daya di perkebunan hingga sampai ke tangan konsumen. Fakta ini membuat para peneliti China ingin mengurangi jejak karbon tersebut dengan memperkenalkan praktik pelabelan.
Label sertifikasi emisi karbon batch pertama untuk durian yang diproduksi di China baru-baru ini diluncurkan di Sanya, Provinsi Hainan, China selatan.
Perusahaan yang menerima label sertifikasi ini mengatakan bahwa label tersebut dapat membantu konsumen memahami dampak iklim dari pilihan pembelian mereka, mendorong kebiasaan konsumsi ramah lingkungan, serta mendorong lebih banyak inovator pertanian untuk mengembangkan dan mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan rendah karbon.
Selama siklus pertumbuhan durian, proses-proses seperti budi daya, irigasi, pemberian pupuk dan pestisida, pengemasan, dan transportasi, seluruhnya berkontribusi terhadap emisi karbon.
Dengan mengumpulkan sampel dari sejumlah perkebunan di Hainan, daerah penghasil durian utama di China, sekaligus menyelidiki praktik pengelolaan pertanian, tim peneliti dari Sekolah Tinggi Ilmu Sumber Daya dan Lingkungan Universitas Pertanian Nanjing (Nanjing Agricultural University/NAU) mengungkapkan bahwa 1 kg durian menghasilkan emisi gas rumah kaca yang setara dengan sekitar 2 kg karbon dioksida (CO2).
Cheng Kun, lektor kepala di NAU, mengatakan bahwa durian memiliki jejak karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah-buahan lainnya. Hal ini terutama terlihat pada durian yang ditanam secara domestik di China, yang baru mulai berbuah dalam dua tahun terakhir. Hasil panen yang lebih rendah pada tahap awal pertumbuhan pohon durian menyebabkan emisi karbon yang lebih tinggi per buahnya.
Perusahaan perkebunan durian di Sanya telah mulai menggunakan arang biomassa yang dikembangkan oleh para peneliti dari NAU untuk memperkaya bahan organik tanah, memperbaiki struktur tanah, serta meningkatkan retensi air dan kesuburan.
Metode-metode ini tidak hanya meningkatkan kualitas tanah dan hasil panen durian, tetapi juga secara signifikan meningkatkan penyerapan karbon tanah, yang diproyeksikan dapat memangkas emisi karbon hingga lebih dari 30 persen.
Pemerintah China baru-baru ini menegaskan kembali tekadnya untuk meningkatkan mekanisme pembangunan hijau dan rendah karbon, menurut sebuah resolusi yang diadopsi dalam sesi pleno ketiga Komite Sentral Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC) ke-20.
Menurut resolusi tersebut, China akan membuat sebuah sistem statistik dan akuntansi emisi karbon, sistem pelabelan dan sertifikasi karbon, serta sistem manajemen jejak karbon.
Sebagai salah satu penghasil pertanian terbesar di dunia, China telah secara aktif mengeksplorasi berbagai cara untuk memosisikan industri pertanian sebagai kontributor pengurangan emisi karbon.
Dikenal sebagai “ratu jeruk”, jeruk Aiyuan yang ditanam di wilayah Pujiang di Provinsi Sichuan, China barat daya, menerima label jejak karbon dari Asosiasi Teknologi Penghematan Energi Elektronik China pada akhir tahun lalu. Ini menjadikan jeruk Aiyuan sebagai buah citrus pertama di negara tersebut yang mendapatkan pengakuan ini.
Para pekebun setempat telah memprioritaskan penggunaan kendaraan energi baru untuk mengangkut pupuk dan pestisida selama tahap pengadaan bahan baku. Mereka juga mengadopsi alternatif organik dan metode pengendalian hama ramah lingkungan untuk menggantikan metode perawatan kimiawi.
Provinsi Jiangsu di China timur pada tahun ini meluncurkan spesifikasi teknis untuk sertifikasi pelabelan jejak karbon teh, pertama dari jenisnya di seluruh China. Sebagai salah satu provinsi penghasil teh utama di negara tersebut, Jiangsu memiliki lebih dari 500.000 mu (sekitar 33.333 hektare) perkebunan teh.
Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata emisi gas rumah kaca dari kebun teh lebih tinggi daripada emisi gas rumah kaca dari sayuran dan lebih dari dua kali lipat dibandingkan emisi gas rumah kaca dari tanaman serealia. Spesifikasi teknis yang baru ini bertujuan untuk mendorong pergeseran ke arah praktik produksi teh yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Saat ini, lebih dari 30 perusahaan di sembilan provinsi di China, termasuk Jiangsu, Yunnan, Shanxi, dan Guangdong, telah mendapatkan sertifikat untuk produk pertanian nol karbon, yang mengindikasikan bahwa emisi gas rumah kaca bersihnya untuk keseluruhan siklus produksi adalah nol atau kurang.
Zhang Jibing, manajer umum sebuah pusat sertifikasi untuk produk organik di Nanjing, mengatakan bahwa budi daya nol karbon (zero-carbon) melibatkan langkah-langkah seperti menggunakan pupuk organik dan mempraktikkan pertanian sirkular untuk menyerap karbon ke dalam tanah, sehingga mengimbangi emisi karbon yang dihasilkan selama proses budi daya. [Xinhua]