GAZA, 21 Januari (Xinhua) — Setelah sekian lama Gaza terisolasi, masyarakatnya yang porak poranda kini bisa mendapatkan kembali kebutuhan hidup vital yang sangat mereka butuhkan melalui kedatangan konvoi truk-truk pengangkut bantuan kemanusiaan yang menyeberangi perlintasan Kerem Shalom, yang dikuasai Israel, di Rafah.
Bagi 2,2 juta warga di wilayah kantong pesisir tersebut, pasokan itu memberikan secercah harapan untuk menjalani kembali kehidupan yang tampaknya normal di tengah kekacauan yang menyelimuti hidup mereka selama 15 bulan terakhir.
Meski rapuh, gencatan senjata yang mulai diberlakukan pada Minggu (19/1) pukul 11.15 waktu setempat (16.15 WIB) tersebut menandai momen yang sangat penting dalam konflik berkepanjangan antara Hamas dan Israel. Dimediasi oleh Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat, ketentuan-ketentuan dalam kesepakatan itu mewajibkan kedua pihak menghentikan operasi militer, melakukan pertukaran tawanan dan sandera, serta membuka perlintasan Rafah untuk penyaluran bantuan kemanusiaan.
Sebagai cahaya perdamaian pertama yang menyinari Gaza, sekitar 555 truk pengangkut bantuan memasuki lanskap yang telah luluh lantak tersebut. Sebagian besar dari truk-truk itu masuk melewati Kerem Shalom, titik perlintasan yang dijaga ketat oleh militer Israel sejak Mei 2024, menghentikan pasokan bantuan untuk memasuki Jalur Gaza dari Mesir.
Bagi Mohammed, seorang pegawai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memantau pengiriman bantuan dari organisasinya dan enggan menyebutkan nama lengkapnya, momen saat melihat kedatangan truk-truk itu terasa luar biasa dan mengharukan.
“Kami merindukan pergerakan semacam itu di perlintasan ini. Saya merasa ingin menangis karena bantuan sebesar itu akan membantu masyarakat saya mendapatkan kebutuhan dasar mereka setiap hari,” ujarnya kepada Xinhua, dengan suara yang diliputi rasa haru.
Menurut Mohammed, truk-truk bantuan itu mengangkut berbagai pasokan esensial, termasuk makanan, air, obat-obatan, bahan bakar, dan pakaian.
“UNRWA memiliki 4.000 truk bermuatan bantuan yang siap memasuki Gaza; separuh di antaranya mengangkut makanan dan tepung,” urai Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di platform media sosial X. Melalui platform X, Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini mengatakan badan PBB tersebut “terus bekerja di Gaza meski ada larangan dari Israel terkait pengoperasiannya, yang mulai diberlakukan pada 30 Januari 2025.”
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga berjanji mengerahkan rumah sakit keliling dalam dua bulan mendatang untuk menopang sektor kesehatan Gaza yang lumpuh.
Kendati demikian, status perlintasan Rafah masih belum jelas, dengan Israel menentang segala bentuk pengawasan oleh Hamas di perlintasan tersebut. Pembicaraan sedang berlangsung untuk memungkinkan Otoritas Palestina mengawasi perlintasan itu, dengan para pengamat internasional memberikan dukungan mereka.
“Tidak menjadi soal siapa yang akan menguasai perlintasan itu. Kami menginginkan hak kami untuk mendapatkan pasokan makanan dan obat-obatan,” kata Mohammed Zourob, pria Palestina yang berbasis di Rafah.
“Kami mengalami kondisi yang sangat buruk selama perang. Anak-anak kami meninggal akibat kelaparan, dan mereka yang selamat mengalami penurunan berat badan,” keluh pria berusia 55 tahun tersebut.
Zourob meyakini bahwa pembukaan perlintasan Rafah sedikit demi sedikit dapat menghidupkan kembali kehidupan di Gaza, mendorong masyarakat untuk menjalani kembali kehidupan sehari-hari mereka.
“Kami telah menunggu begitu lama,” tutur Suha Shaath, ibu empat anak yang mengungsi dan tinggal di Khan Younis.
“Berkat bantuan ini, anak-anak saya dapat tetap merasa hangat selama malam-malam yang dingin, dan mungkin suami saya yang terluka dapat memperoleh pengobatan yang dia perlukan, ujarnya kepada Xinhua.
Saat warga Gaza secara perlahan mulai membangun kembali kehidupan mereka dengan bantuan yang terlambat itu, berbagai tantangan ke depan begitu besar dan menakutkan. Dengan sistem perawatan kesehatan yang telah berada di ambang kehancuran, ribuan pasien masih menghadapi hambatan yang sangat sulit diatasi untuk meninggalkan Gaza guna menjalani pengobatan di Mesir.
Bagi Ahmed al-Arabid, seorang warga Gaza yang kaki kirinya diamputasi akibat serangan udara Israel, perjuangan untuk mendapatkan perhatian medis merupakan kenyataan yang pahit.
“Kami berharap kesepakatan gencatan senjata itu akan tetap diterapkan, tetapi kami telah belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa aksi pendudukan ini dapat melanggarnya setiap saat,” tutur al-Arabid kepada Xinhua.
“Saya tahu ini tidak mudah mengingat ada ribuan pasien, namun saya harus tetap optimistis bahwa saya akan menyeberangi perlintasan Rafah suatu hari nanti,” imbuhnya. Selesai