JAKARTA – Sudah beberapa bulan sejak Lisa Siregar, seorang pekerja media berusia 36 tahun di Jakarta, terakhir kali pergi ke bioskop untuk menonton film yang baru dirilis.
Sebagai penikmat film dan pembawa acara podcast yang membahas seputar film-film terbaru di seluruh dunia, Siregar biasa menonton tiga atau empat film di bioskop dalam sepekan.
“Meski sekarang saya beralih ke platform video daring untuk memuaskan dahaga saya pada film-film terbaru, saya sangat merindukan layar lebar dengan kualitas gambarnya yang berkelas dan efek suara yang menggelegar,” ungkap Siregar.
Tahun ini merupakan tahun yang berat bagi industri bioskop di Indonesia, terutama setelah gelombang kedua pandemi COVID-19 mulai melanda Tanah Air sejak pertengahan Juni lalu.
Sejak diterapkannya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM pada awal Juli, bioskop-bioskop untuk sementara ditutup seiring tutupnya pusat-pusat perbelanjaan dan mal, yang menyewakan sebagian area gedungnya untuk bioskop.
Menutup biaya operasional dasar dengan arus kas masuk yang kecil telah menjadi tantangan besar bagi bioskop, baik besar maupun kecil.
“Dengan penutupan sementara ini, satu bioskop bisa rugi hingga ratusan juta rupiah per bulan,” kata Djonny Syarifuddin, Ketua Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). “Biaya terbesar adalah untuk sewa gedung, listrik, dan upah pegawai.”
Marsya Gusman, Manajer Humas CGV, masih ingat dengan jelas bahwa ketika bioskop diharuskan tutup sementara pada pertengahan Juli, ada film yang baru saja tayang.
CGV merupakan salah satu perusahaan jaringan bioskop terkemuka di Indonesia yang mengoperasikan 68 bioskop di 16 provinsi dengan total 397 layar.
“Tahun lalu kami berhasil memperoleh pendapatan Rp255,84 miliar, tetapi ada penurunan signifikan sebesar 81,91 persen jika dibandingkan tahun 2019,” kata Gusman.
Untuk bertahan di tengah pandemi, CGV berinovasi dengan menjual makanan dan minuman dibawa pulang (take-out). Paket kombo berisi kentang goreng, hot dog, dan sebotol soda ekstra besar pun masih tetap menarik meski tanpa latar bioskop.
“Menjual makanan secara daring memang belum bisa menutup semua biaya operasional saat ini, namun setidaknya sebagian, lebih baik daripada tidak melakukan apa pun,” kata Gusman.
Bagi Kinosaurus, sebuah mikrosinema dengan kapasitas 30 kursi yang berlokasi di Jakarta, kelangsungan bisnis menjadi sebuah tanda tanya yang lebih besar lagi. Pada Desember tahun lalu, di ulang tahunnya yang keenam, para staf pindah dari gedung kantor karena biaya sewa sudah menjadi beban yang berat.
“Pada Februari tahun ini, kami memulai bioskop virtual. Penonton hanya perlu membeli tiket seharga Rp50.000 untuk menonton film, tetapi mereka harus selesai menontonnya dalam waktu 72 jam setelah klik pertama,” kata Alexander Matius, seorang kurator film di Kinosaurus.
Setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu, Kinosaurus menayangkan dua film per hari. Dengan dana yang terbatas, kini mereka menayangkan tujuh film setiap bulan dengan tema tertentu.
“Kami mempunyai lebih dari 100 penonton dalam beberapa bulan terakhir, turun dari sekitar 500 pada hari-hari sebelum pandemi. Namun, sejauh ini bagus. Setidaknya kami menemukan cara untuk bertahan,” kata Matius.
Namun, bahkan setelah dibuka kembali, bioskop masih menghadapi kesulitan untuk menayangkan film-film terbaru. Beberapa pembuat film menunda pemutaran perdana, sementara yang lain lebih condong ke platform OTT (over-the-top) untuk merilis film, mengingat pendapatan box office yang terbatas dari bioskop. Di bawah protokol kesehatan ketat, bioskop mungkin hanya bisa melayani tak lebih dari 25 atau 50 persen dari total kapasitasnya.
Baik secara daring maupun luring, bioskop memang tak mampu bersaing dengan platform OTT dalam hal cakupan penonton, tetapi mereka pun tidak berusaha untuk dapat menang.
Bagaimanapun juga, pengalaman menonton film di bioskop memang tak tergantikan. Bagi banyak orang, bioskop seperti pintu menuju dunia lain. “Orang-orang masuk ke bioskop dengan berbagai emosi dan pikiran. Begitu mereka duduk menghadap layar besar itu, mereka semua akan tenggelam dalam film dan momen. Anda tidak bisa membeli perasaan itu saat menonton dari rumah,” kata Matius.
Belakangan ini optimisme juga semakin meningkat. Kamar Dagang dan Industri Indonesia pada Selasa (17/8) mengumumkan perluasan relaksasi PPKM di wilayah Jawa-Bali untuk membantu menghidupkan kembali perekonomian di kedua pulau tersebut. Pusat perbelanjaan dan mal diizinkan beroperasi lagi dengan kapasitas 50 persen.
“Dengan semakin banyak orang yang divaksinasi, saya yakin situasi kita sedikit demi sedikit akan membaik,” kata Matius.
Siregar juga menantikan dengan antusias pembukaan kembali bioskop. “Saya akan mengajak teman untuk nonton bersama. Saya tahu kami akan duduk berjauhan, tetapi kami juga akan tertawa atau menangis bersama,” ujarnya. [Xinhua]