Seorang staf menimbang sekeranjang buah jujube musim dingin yang dipanen di sebuah koperasi petani terspesialisasi di Desa Xiaopo di wilayah Dali, Provinsi Shaanxi, China barat laut, pada 22 September 2020. (Xinhua/Zhang Bowen)
XI’AN, 2 Oktober (Xinhua) — Zhu Hongtao (53), penduduk desa dari wilayah Dali di Provinsi Shaanxi, China barat laut, memanen jujube (kurma khas China) musim dingin di lahan seluas dua hektare miliknya pada awal September.
Terlibat dalam penanaman jujube selama 26 tahun, dia menyaksikan perkembangan pesat budi daya buah itu sejak awal.
Kehidupan penduduk lokal di wilayah Dali dulunya dipenuhi oleh penderitaan. Terletak di aliran tengah Sungai Kuning, sungai terpanjang kedua di China, wilayah itu dilanda salinisasi tanah sehingga menyebabkan sebagian besar lahan dibiarkan tak digarap.
“Pada 1990-an, para penduduk desa mengantongi pendapatan tahunan sebesar kurang dari 500 yuan (1 yuan = Rp2.146),” kenang Xue Anquan, Ketua Partai Desa Xiaopo, yang terletak sekitar tujuh kilometer dari Sungai Kuning. Banyak warga setempat merantau untuk mencari pekerjaan di tempat lain.
Xue dan kader desa lainnya mengunjungi Shandong, Henan, dan provinsi lainnya untuk mempelajari potensi penanaman di tanah yang mengandung garam. Mereka memperkenalkan berbagai tanaman seperti pohon ara dan poplar, tetapi upaya perkebunan itu gagal. Hanya pohon jujube yang dibawa dari Provinsi Shanxi di seberang sungai itu yang berhasil tumbuh.
Namun, secercah harapan itu segera diliputi oleh permasalahan lainnya. Desa tersebut tidak memiliki sumber irigasi karena hanya ada aliran air yang mengandung alkali di bawah tanah.
“Kami meminjam uang untuk membangun kanal irigasi sepanjang tiga kilometer pada 2001. Upaya kami membuahkan hasil karena kami memperoleh panen yang baik pada tahun-tahun selanjutnya,” ujar Xue.
Untuk mendatangkan lebih banyak manfaat, mereka mencangkok jujube musim dingin, yang dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi.
Berbagai jenis selter telah dibangun dalam beberapa tahun terakhir untuk melindungi pohon itu dari perubahan cuaca dingin yang terjadi secara tiba-tiba (cold snap), hujan es, dan hujan lebat.
“Dalam kondisi alami, buah jujube musim dingin mencapai puncak kematangan pada Oktober. Namun, saat ini, buah itu mencapai kematangan yang jauh lebih awal dari sebelumnya sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi,” tutur Zhu.
Selain itu, wilayah itu mendirikan sebuah institut yang didedikasikan untuk riset penanaman jujube pada 2020. “Lewat perbaikan kondisi tanah dan pembiakan spesies baru, hasil panen mengalami peningkatan dan para petani menikmati nilai output yang lebih tinggi,” kata Lei Mengshi, pejabat dari biro pertanian dan urusan pedesaan wilayah tersebut.
Terdapat lahan jujube musim dingin seluas 28.000 hektare dengan produksi tahunan mencapai 500.000 ton di wilayah tersebut. Hampir sepertiga dari populasi wilayah itu, yang mencapai sekitar 590.000 jiwa, telah dipekerjakan di bidang penanaman, pengolahan, pengangkutan, dan penjualan jujube.
“Pendapatan per kapita di desa itu mencapai 25.000 yuan, 50 kali lipat dari angka yang tercatat pada 1990-an,” papar Xue, yang menambahkan bahwa lebih banyak teknologi akan diterapkan untuk meningkatkan nilai tambah buah tersebut. [Xinhua]