JAKARTA, 29 Juni (Xinhua) — Kekalahan 0-1 dari tuan rumah Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno memupus harapan timnas China untuk lolos ke Piala Dunia 2026. Ini menjadi kegagalan keenam kali bagi China untuk tampil di ajang bergengsi empat tahunan itu, sejak partisipasi perdananya di Piala Dunia 2002.
Kegagalan demi kegagalan tersebut tidak hanya mengecewakan, tetapi juga memantik rasa penasaran yang kian membesar, tak hanya bagi publik sepak bola China namun juga penggemar sepak bola dunia pada umumnya.
Sebuah pertanyaan besar muncul. Mengapa China begitu digdaya di berbagai cabang olahraga lain, termasuk menjadi pesaing ketat bagi Amerika Serikat (AS) dalam beberapa edisi terakhir Olimpiade, namun terhitung semenjana di dunia sepak bola?
Apalagi, China kerap disebut sebagai asal permainan sepak bola. Pada 2004, FIFA mengakui cuju atau tsu chu, yang memiliki sejarah lebih dari 2.000 tahun, sebagai permainan bola kuno yang menjadi cikal bakal sepak bola modern. Ini seperti halnya kemari di Jepang, harpastum di era Romawi, dan episkyros di era Yunani kuno. Jadi, China sebenarnya bukanlah negara tanpa tradisi sepak bola.
China sendiri bukan tidak memiliki ambisi atau tanpa upaya untuk bangkit dan berada di level elite dunia sepak bola. Pada 2015, melalui Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (National Development and Reform Commission/NDRC), China merilis sebuah rencana reformasi sepak bola yang bertujuan mengembangkan olahraga ini di semua tingkatan, dari akar rumput hingga elite.
Target utamanya adalah menjadikan China sebagai salah satu kekuatan elite sepak bola dunia pada 2050. Bagi China, kehebatan di lapangan sepak bola, yang diakui sebagai permainan paling populer di dunia, menjadi salah satu indikator penting kemajuan negara itu di panggung dunia.
KEPERCAYAAN DIRI SEBAGAI BANGSA YANG BESAR
Tentu saja, China lebih dari pantas memasang target-target ambisius tersebut. China adalah negara besar dengan berbagai pencapaian hebat pada peradaban masa lalu dan era modern.
Sejumlah landmark dan infrastruktur menjadi beberapa buktinya, seperti Tembok Besar sebagai salah satu keajaiban dunia, Bendungan Tiga Ngarai yang merupakan proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) terbesar di dunia, serta Jembatan Ngarai Besar Huajiang yang akan menjadi jembatan tertinggi di dunia.

Selain itu, China menjadi negara yang sukses besar dalam pengentasan kemiskinan. Pada 2021, China mendeklarasikan “kemenangan total” saat berhasil mengangkat 800 juta rakyatnya keluar dari kemiskinan absolut.
China juga mencapai berbagai terobosan besar dalam program eksplorasi antariksa. Pada 2020, negara itu berhasil menuntaskan misi pengambilan sampel tanah dari Bulan, menandai rampungnya program eksplorasi Bulan tiga fase, yakni mengorbit, mendarat, dan membawa pulang sampel, yang dimulai pada 2004.
Dengan berbagai pencapaian luar biasa di sejumlah bidang tersebut, China memiliki kepercayaan diri tinggi yang menjadi modal besar dalam hubungan internasional dan pergaulan dunia.
Salah satunya tercermin dari sikap China dalam menghadapi perang tarif dengan AS. China menyatakan siap bertarung hingga akhir, seraya menyebut bahwa mereka memiliki kemampuan serta kepercayaan diri untuk mengatasi berbagai risiko dan tantangan.
SUMBER DAYA DAN DUKUNGAN KUAT
China, yang merupakan perekonomian terbesar kedua dunia, memiliki kemampuan dan sumber daya yang lebih dari cukup untuk mendukung agenda reformasi sepak bolanya. Pemerintah pusat China memberikan dukungan kuat pada agenda reformasi sepak bola itu, terutama secara finansial.
Salah satu agenda reformasi sepak bola komprehensif China adalah membangun antara 16 sampai 18 kota sepak bola dalam kurun lima tahun dari 2021 hingga 2025. Kota-kota sepak bola itu akan memiliki sedikitnya dua klub profesional, satu pusat pelatihan tingkat nasional untuk remaja atau usia muda, dan sejumlah pusat pelatihan setempat. Separuh pelajar di kota-kota tersebut harus terlibat dalam sepak bola, dan harus ada sedikitnya satu lapangan sepak bola untuk setiap 10.000 orang.
Menurut dokumen resmi yang diterbitkan oleh NDRC, sebagaimana telah diumumkan bersama oleh Administrasi Umum Olahraga China dan Asosiasi Sepak Bola China (Chinese Football Association/CFA) pada Juli 2019, pemerintah pusat akan memberikan subsidi pada lapangan-lapangan sepak bola yang baru dibangun.
Lapangan sepak bola untuk 11 lawan 11 masing-masing akan disubsidi sebesar 2 juta yuan (1 yuan = Rp2.271). Per 2020, China dilaporkan telah membangun lebih dari 27.000 lapangan sepak bola, melampaui target awal.
Dukungan pemerintah pusat itu termasuk dalam penegakan hukum. Pada September 2023, Kejaksaan Rakyat Provinsi Hubei menyatakan bahwa Chen Xuyuan, mantan presiden CFA, dituntut karena menerima suap. Kemudian, pada 11 Desember 2024, sebuah pengadilan di Provinsi Hubei memvonis Liu Yi, mantan sekretaris jenderal CFA, bersalah dalam kasus suap dan menjatuhkan hukuman penjara selama 11 tahun. Penuntutan dan vonis itu merupakan bagian dari upaya memberantas korupsi di persepakbolaan China.
Seperti halnya sepak bola sebagai permainan tim, dibutuhkan kerja sama yang lebih kompak dari seluruh pemangku kepentingan di China untuk mewujudkan target puncak dari reformasi sepak bolanya dalam 25 tahun ke depan. Selesai