Tiongkok dan India merupakan pesaing industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia di kancah global. Kedua negara tersebut memiliki produksi massive dan teknologi mumpuni yang menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Agar tetap dapat bersaing, Indonesia perlu terus meningkatkan kualitas produksi, termasuk teknologinya serta efisiensi dalam proses produksi.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2022 – 2024) industri TPT Indonesia menghadapi situasi yang sulit, sehingga banyak Perusahaan di bidang ini yang harus tutup dan mem-PHK belasan ribu pekerjanya. Kegagalan perusahaan-perusahaan TPT lokal untuk bertahan di tengah tekanan persaingan dengan produk impor telah memaksa mereka untuk melakukan PHK besar-besaran atau bahkan menutup pabrik mereka.
Teranyar adalah Keputusan pengadilan Semarang yang secara resmi menyatakan PT Sritex Rejeki Isman Tbk (Sri Tex) dan 3 anak perusahannya dinyatakan pailit melalui putusan nomor perkara; 02/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. Dalam putusan tersebut Sritex dinayatakan telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada PT Indo Bharat rayon, selaku pemohon.
Sektor yang dulunya “Primadona” karena menjadi salah satu pilar ekonomi Indonesia, kini diambang jurang kebangkrutan. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap penurunan industri TPT Indonesia, antara lain persaingan global terutama dengan Tiongkok dan India, adanya perubahan kebutuhan pasar global, hingga regulasi Pemerintah RI yang berubah-ubah dan cenderung tidak “berpihak” kepada industri TPT di dalam negeri yang ditengarai sebagai salah satu penyebabnya.
Meski Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dalam berbagai kesempatan menyatakan beberapa alasan utama dibalik kehancuran industri ini dan peraturan pemerintah mengenai kebijakan impor hanyalah salah satu diantaranya. Namun Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag Nomor 8 tahun 2024) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang memperlonggar ketentuan masuknya produk-produk tekstil impor masuk ke Indonesia, menyebabkan tekstil dari luar negeri – baik legal maupun ilegal – masuk ke pasar Indonesia dengan lebih mudah, tanpa kontrol teknis (Peraturan Teknis/Pertek) yang ketat.
Akibat lanjutan dari Permendag tersebut, produk-produk impor TPT dengan harga yang relatif murah membanjiri pasar dalam negeri, membuat produk-produk lokal sulit bersaing. kebijakan ini juga membuat industri tekstil di dalam negeri kesulitan bertahan karena tidak mampu menghadapi harga relatif rendah yang ditawarkan produk-produk impor dimaksud.
Masalah lain yang juga memperparah kondisi ini, terjadinya perubahan Landscape Geopolitik yang mengakibatkan landscape market dan landscape industry juga ikut berubah sebagai akibat perang di Timur Tengah dan perang antara Rusia dan Ukraina serta rivalitas RRT dan amerika serikat di bidang perdagangan. Perang di kedua wilayah tersebut telah ikut mengganggu market dan suplai-chain produk TPT Indonesia ke AS dan ke Eropa.
Pesaing Indonesia seperti; RRT dan India pun menghadapi hal yang sama, yakni barriers ke AS dan Eropa mengakibatkan kedua negara tersebut mengalihkan ekspornya ke negara-negara seperti Indonesia yang punya Kerjasama perdagangan (E-Commerce Cooperation) dengan Tiongkok yang ditanda-tangani di Bali (KTT G-20) bulan Nopember 2022, baik Kerjasama perdagangan dalam Asia Pacific Trade Agreement (APTA) maupun dalam ASEAN – Indo Pacific Forum (AIPF). Sementara Kerjasama perdagangan dengan India dilakukan melalui ASEAN-India Free Trade Agreement (AI-FTA) maupun melalui Kerjasama bilateral seperti Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk produk serat stapel viscose (VSF) sebagai bahan baku pendukung industri tekstil. Akibatnya produk-produk tekstil impor yang masuk ke Indonesia semakin menumpuk dan memasuki tahun 2024 situasi dimaksud tidak membaik, bahkan cenderung produk impor yang tidak terserap pasar global menimbulkan kejenuhan di pasar domestik.
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, menyatakan bahwa sekitar 60% industri TPT kecil dan menengah kini sudah tidak beroperasi. Menurutnya, produk-produk impor yang ada di pasaran kini dijual dengan harga yang sangat murah, bahkan di bawah harga bahan baku produk lokal. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa sebagian besar produk tersebut masuk secara ilegal. Jika barang-barang ini masuk secara resmi, seharusnya harga jualnya akan lebih tinggi karena adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Masuk, dan Bea Safeguard. Namun, kenyataannya, produk impor tersebut dijual di bawah harga Rp 50.000 per potong, sesuatu yang tidak mungkin dicapai oleh industri lokal.
Di sisi lain, faktor eksternal juga memengaruhi banjirnya produk tekstil asing di Indonesia. Saat ini, RRT sedang mengalami oversupply pasokan produk tekstil dan garmennya. Hal ini terjadi karena pasar utama mereka di Amerika Serikat dan Eropa membatasi impor tekstil dengan Bea masuk yang tinggi, sehingga produk-produk ini meluber ke negara-negara mitra dagang RRT yang lain, termasuk Indonesia.
Kondisi tersebut menciptakan masalah berlapis bagi industri tekstil dalam negeri. Di satu sisi, produsen lokal harus bersaing dengan harga murah dari produk impor yang sulit ditandingi. Di sisi lain, kebijakan atau Kerjasama perdagangan internasional membuat Indonesia sulit membendung arus produk asing.
What Next ?
Setidaknya terdapat dua postulat terkait hal ini. Pemerintah kurang serius atau pemerintah memang kurang tahu cara melindungi industri TPT dalam negeri. Industri TPT seolah dibiarkan berjuang sendiri tanpa sokongan yang memadai dari negara. Dengan keruntuhan sudah mulai menjalar ke pemain besar, seperti PT Sri Tex, kebetulan tumbangnya ketika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto baru saja memulai tugasnya. Karena itu, kita ingin meminta pemerintahan baru agar mereka mampu menyelesaikan persoalan di industri TPT (garmen dan tekstil) secara komprehensif.
PT Sritex tentu perlu dipertimbangkan untuk diselamatkan terlebih dahulu karena ada potensi PHK terhadap ribuan pekerja serta efek domino yang akan ditimbulkannya yang dapat mengguncang seluruh sektor industri ini. Ribuan pekerja yang akan di-PHK dapat memengaruhi stabilitas sosial di kawasan industri yang selama ini sangat bergantung pada keberadaan perusahaan-perusahaan tekstil dimaksud. Tugas berat dan utama pemerintah (Menperind, Menkeu, Men BUMN, Menaker serta Mendag) ialah menyelamatkan industri TPT ini secara keseluruhan. Pemerintah seharusnya melakukan pendekatan lebih komprehensif untuk merumuskan langkah penyelamatan industri tekstil dan produk garmen sehingga ditemukan langkah atau solusi yang tepat dan bersifat jangka panjang.
Pertama, Pemerintah perlu memperkuat Kembali adanya Peraturan Teknis (Pertek) yang dicabut seiring berlakunya Permendag No. 8 Tahun 2024 pada bulan Meret lalu. Pertek seharusnya difungsikan sebagai pagar/pengaman bagi industri TPT lokal dengan aturan teknis yang lebih rinci. dimana aturan mengenai Rules of Origin dan kandungan/jenis Zat Kimia, apakah membahayakan atau tidak jika digunakan di tubuh, dll yang betul-betul disesuaikan dengan spesifikasi Indonesia.
Kedua, Pemri perlu mengadakan rescue mission guna membangun ”Indonesian Incorporated” di industri tekstil dan produk garmen (TPT) karena industri ini melibatkan banyak orang (padat karya) dan mampu menyedot puluhan ribu hingga jutaan tenaga kerja. Jika di India terdapat Kementerian Tekstil dan RRT punya Council (Badan atau Dewan) yang khusus menangani industri tekstil. Di Indonesia perlu dibentuk Badan/Dewan Tekstil dan Produk Tekstil yang tugas utamanya menetapkan Roadmap yang jelas dan fokus terkait industri TPT agar opportunity tidak hilang. Tugas utama Council/Badan tersebut antara lain menetapkan kapasitas nasional di dalam negeri yang diperlukan, apakah kurang atau tidak, sehingga Badan ini yang merekomendasikan perlu atau tidaknya RI melakukan importasi di bidang TPT.
Ketiga, DPR RI perlu menginisiasi perlunya RUU tentang Sandang atau Pertekstilan Indonesia. RUU tersebut bertujuan untuk membentuk “Indonesia Incorporated in Textile”. Karena Indonesia punya marketnya, Indonesia punya akademisinya (para lulusan akademi pertekstilan), Indonesia punya inovasinya. Sehingga yang masih kurang adalah dari sisi regulasi yang kuat dan bersifat lebih komprehensif karena mengikat antara lain; pihak industri, Pemerintah dan para pekerja di bidang ini.
Presiden sudah benar memerintahkan empat menterinya (Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri Ketenagakerjaan) untuk terlibat secara langsung untuk menyelesaikan krisis di PT Sritex. Mereka diminta menyiapkan strategi dan skema yang paling pas untuk menyelamatkan tidak hanya Sritex, akan tetapi industri TPT secara keseluruhan .
Bila kerjasama tersebut dapat diteruskan, ditambah keterlibatan Menteri Perdagangan yang lebih banyak bersentuhan dengan Peraturan teknis (Pertek) perlu dilembagakan, guna membereskan segudang persoalan yang masih menggelayuti industri tekstil serta industri-industri padat karya lainnya. Sehingga industri ini dapat kembali menjadi Primadona Industri di Indonesia, karena penyerapan sektor tenaga kerja yang massif. Penyelamatan industri tekstil adalah salah satu kunci untuk meredam laju de-industrialisasi di negeri ini yang kini terus menghantui.
Oleh : Nasaruddin Siradz