WARTABUANA – Saat dunia dan negeri ini dihadapkan pada presensi multikrisis, baik itu krisis ekonomi, pangan maupun energi maka tidak ada pilihan untuk segera bertindak efektif, strategis dan visioner dengan memilih sektor dan komoditi andalan yang lebih tepat untuk eksistensi Indonesia. Pemerintah juga harus fokus pada prioritas kebijakan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki.
Hal ini disampaikan Dina Hidayana, Pengamat Pertahanan dan Pangan jebolan Doktoral Unhan RI merespon kunjungan Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto menemui Menteri Negara untuk Iklim, Lingkungan dan Energi Inggris, Richard Henry Ronald di London Inggris pada Selasa (30/4/2024) lalu dengan salah satu agenda meminta perlakuan non diskriminatif, khususnya dalam perdagangan sawit Indonesia.
Sebelumnya, Dina Hidayana melihat trend fenomena dampak pandemi Covid-19 dan perubahan iklim ekstrim; menguatnya bipolar, pertarungan aliansi blok barat dan blok timur yang diawali dengan konflik Rusia-Ukraina; serta berbagai kondisi dan peristiwa di tingkat global dan regional mempengaruhi dinamika domestik secara langsung dan tidak langsung.
“Terganggunya pasokan bahan baku pangan dan pertanian, sumber energi serta keguncangan ekonomi merupakan contoh siklus pasok yang saling berkelindan dan cenderung diskriminatif akibat dominasi negara atau blok tertentu. Karenanya, kita perlu tindakan antisipatif progresif dalam merubah tantangan menjadi peluang,” urai Dina.
Dina Hidayana mengutip data FAO, Konflik Rusia-Ukraina yang sempat menguat di awal 2022, menjadi perhatian publik karena kedua negara tersebut menguasai 30% perdagangan pangan global dan 78% minyak bunga matahari (sunflower). Setidaknya 50 negara bergantung pada impor Gandum Rusia-Ukraina untuk memenuhi 30% kebutuhan Gandum domestik dan 26 negara memerlukan 50% Gandum dari kedua negara tersebut. Rusia juga merupakan pemasok utama pupuk nitrogen, urutan kedua dan ketiga pemasok dunia untuk unsur potasium dan fosfor.
Posisi tersebut, menurut Dina, mengisyaratkan kondisi ketergantungan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia terhadap negara yang diklaim sebagai produsen pangan dan energi. Tingkat ekonomi negara-negara “penguasa pangan dan energi” relatif lebih baik dari “negara konsumen”.
Lebih lanjut Dina menegaskan, Indonesia bisa membalikkan situasi tidak menguntungkan tersebut agar tidak berlarut. Mengingat ketergantungan pada pangan dan energi pada negara lain akan melemahkan negara tersebut.
Penelitian yang dilakukan Dina Hidayana secara Mix Methods, menunjukkan bahwa Padi dan Sawit adalah dua komoditas unggulan yang bersifat strategis bagi pertahanan dan perdagangan serta mampu mendongkrak perekonomian nasional. Padi dan Sawit adalah dua komoditi yang multifungsi, mengatasi problem pangan, energi dan ekonomi sekaligus.
“Membangun industri pertanian skala luas dengan komoditas utama Padi dan Sawit, bukan saja akan mengatasi persoalan kelangkaan pangan, importasi bahan pokok yang semakin meresahkan namun sekaligus memasifkan produksi biofuel berupa energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan sekaligus adaptasi terhadap menipisnya energi fosil,” ujar Dina.
Dina Hidayana optimis bahwa Sawit Indonesia mampu menggeser dominasi minyak sun flower di pasaran internasional, khususnya untuk penetrasi pasar Asia dan Afrika (new emerging market) yang berpenduduk besar dan konsumtif, mengingat harga yang bersaing dan variasi produk turunan yang prospektif. Propaganda Sawit Indonesia yang dianggap tidak ramah lingkungan harus mampu diatasi melalui soft and smart diplomacy, sebagaimana fakta bahwa justru minyak sun flower yang lebih rakus hara dan area.
Sementara optimasi komoditas Padi, adalah kewajiban menjaga nilai-nilai luhur budaya tani yang menjadi ciri khas dan jati diri Indonesia. Berdasar simulasi proyeksi menggunakan metode Computable General Equilibrium (CGE) yang telah dilakukan Dina Hidayana, Indonesia masih akan menjadi konsumen beras yang cukup besar setidaknya sampai tahun 2045.
“Selain itu, banyaknya negara yang menjadi konsumen beras dan terus bergantung pada importasi akibat keterbatasan lahan dan SDM agroindustri mereka merupakan potensi besar bagi Indonesia untuk bergerak dari negara importir beras menjadi produsen pangan pokok mayoritas bangsa di dunia,” pungkas Dina.[]