WARTABUANA – Membuat khawatir, proliferasi senjata biologis Amerika Serikat ditentang sejumlah pihak. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa sebab, mari simak aktivitas laboratorium biologi yang dilakukan pihak Amerika Serikat.
Mengungkap laboratorium biologi Amerika Serikat yang tersebar di mana-mana
Hasil pengungkapan ‘jaringan gelap’ sangat besar di Amerika Serikat (AS), ditemukan sejumlah penyakit pandemic yang tidak saja sangat berbahaya namun juga bersifat mematikan manusia, di antaranya adalah antraks, kolera dan brucellosis. Serangkaian daftar penyakit pandemic berbahaya ini semuanya berasal dari penelitian yang dilakukan oleh ratusan laboratorium biologi yang tersebar di banyak negara di bawah kendali AS.
Pemerintah AS tidak segan-segan melakukan tindakan apapun termasuk melakukan pembunuhan manusia lewat menciptakan wabah pandemic demi kepentingan ekonominya. Jaringan laboratorium biologi di AS tersebar di seluruh dunia.
Data menunjukkan bahwa AS membangun dan mendanai lebih dari 300 laboratorium biologi sipil dan militer di seluruh dunia, yang tersebar di Timur Tengah, Afrika, Georgia hingga negara-negara Baltik, beberapa negara Eurasia, Korea Selatan, Indonesia dan negara serta wilayah lain. Negara-negara tersebut dimasukkan dalam ruang lingkup eksperimen biologi oleh AS. Di Ukraina saja, AS dengan rela telah menghabiskan biaya lebih dari 200 juta dolar AS untuk membangun jaringan lebih dari 30 laboratorium biologi. Hal yang paling mengerikan adalah bahwa kegiatan percobaan Amerika Serikat mungkin melibatkan pembuatan senjata biologis.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan eksperimen biologi AS di seluruh dunia meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, mulai terkuak. Dari melakukan eksperimen manusia secara diam-diam, meneliti virus yang sangat patogen, hingga insiden keamanan berturut-turut seperti hilangnya jenis virus, semakin banyak manusia yang menjadi korban dan sangat menderita karenanya, dan keamanan banyak negara di dunia telah terancam secara serius. Jaringan laboratorium biologi AS yang tersebar di banyak negara itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk memberikan bantuan medis kepada masyarakat setempat. Tugas utamanya adalah mengumpulkan data mengenai bahan biologis dan mempelajari penyebaran virus dan penyakit berbahaya.
Perang Ukraina-Rusia justru akhirnya berhasil membuka aktivitas gelap AS di Ukraina. Pentagon akhirnya harus mengakui pada tahun 2022 bahwa mereka telah memberikan dukungan kepada 46 fasilitas biologis di Ukraina, tetapi mengklaim bahwa kerja sama dengan Ukraina adalah untuk meningkatkan ‘keamanan hayati manusia dan hewan’ dan pengawasan penyakit. Fasilitas laboratorium biologi itu berisi virus patogen wabah, antraks, tularemia, kolera, dan penyakit mematikan lainnya. Terdapat lebih dari 30 laboratorium di Ukraina yang melakukan penelitian tentang patogen berbahaya dalam kerangka program biologi militer AS.
Pembangunan fasilitas laboratorium biologi AS ini telah melanggar aturan dasar Konvensi Senjata Biologis. Pelanggaran ini dapat terjadi suatu negara memberi ijin dan bersedia bekerjasama dengan pihak AS membangun fasilitas laboratorium di wilayah negaranya. Saat proses pemberian ijin untuk bekerjasama dengan pihak AS itu terjadi maka saat itu pulalah terjadi hilangnya kedaulatan negara tersebut.
Membangun fasilitas semacam itu di luar wilayah AS untuk melakukan eksperimen genetik dan biologis manusia memberi celah pada AS untuk menghindar dari batasan undang-undang AS dan tidak perlu khawatir tentang protes dari publik Amerika. Keuntungan yang diperoleh AS dari pelanggaran Konvensi Senjata Biologis terutama adalah memperoleh sampel biologis dan genetik tanpa hambatan untuk eksperimen, baik pada hewan maupun manusia. Sampel ini merupakan data primer yang menjadi syarat mutlak dalam aktivitas riset laboratorium.
Apa sebenarnya yang ingin dilakukan AS dengan pembangunan dan pengembangan begitu banyaknya laboratorium biologi di Ukraina dan di banyak negara lainnya? Dalam menghadapi kekhawatiran yang terus berlanjut dari dunia luar, laboratorium biologi adalah kedok untuk pendirian fasilitas militer oleh AS dan NATO di wilayah Ukraina. Pertahanan AS tidak hanya gagal meyakinkan dunia luar, tetapi juga gagal menekan keraguan media AS. Media AS sendiri pernah melancarkan kritikan, ‘AS telah mendirikan laboratorium yang sangat mengkhawatirkan dan berbahaya di Ukraina, tetapi pemerintah AS tidak pernah mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang dilakukan laboratorium ini.’
Protes keras dari masyarakatnya sendiri pun tidak dihiraukan oleh pemerintah AS, apalagi masyarakat negara lain. Sehingga tidak mengherankan jika penyakit social di AS makin parah. Jumlah penembakan brutal yang dilakukan warga AS makin kerap terjadi dan angka kriminalitas makin tinggi. Masyarakat AS hidup dalam kekacauan dan kecemasan. Ditambah lagi persoalan kesehatan, sebelum pandemic Covid, penyakit flu dan pilek untuk ukuran masyarakat Indonesia bukan penyakit serius, namun di AS penyakit flu dan pilek ini tiap tahun membawa kematian pada ribuan warga AS.
Intelijen AS terkenal sangat piawai dalam pekerjaan perang, baik perang secara fisik maupun perang senjata biologis. Pemerintah nasional masing-masing negara harus lebih ketat menetapkan regulasi dan seharusnya menolak negaranya menjadi sasaran tempat beroperasinya laboratorium biologi AS. Sebab resiko yang harus dibayar sangat mahal. Retorika dengan berbagai argument akan dimainkan AS untuk menutupi tindak manipulativ demi keuntungan politik ekonominya. Prinsip kemanusiaan dan norma kehidupan dilanggar dan diterjang demi mengejar ambisi berkuasa. Sederhana saja, semakin dekat suatu negara dengan AS maka semakin besar bahaya yang mengintai negara itu.
Mempersoalkan keberadaan laboratorium dan aktivitas riset biologi AS di Indonesia
Setelah disintegrasi Uni Soviet pada tahun 1991, AS segera mulai mengimplementasikan proyek biologi militer di wilayah negara-negara bekas Uni Soviet. Dengan kedok proyek biomedis, AS telah mendirikan jaringan laboratorium di wilayah negara-negara tersebut untuk mempelajari infeksi berbahaya yang dapat memperburuk situasi epidemiologis di negara tuan rumah.
Tidak hanya negara-negara bekas Uni Soviet yang memiliki fasilitas biologis AS, tetapi juga Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Afrika. Defense Advanced Research Projects Agency yang dikendalikan Pentagon, yang menciptakan divisi bioteknologi khusus pada tahun 2014, secara aktif terlibat dalam proses ini. Saat ini, badan ini melaksanakan lebih dari 45 proyek militer, 14 di antaranya menggunakan biologi sintetik. Beberapa badan CIA juga melaksanakan beberapa proyek biologi militer.
Selain Pentagon dan CIA, beberapa perusahaan juga terlibat dalam proyek biologi militer AS, dan telah berhasil mendirikan sekitar 400 laboratorium militer dan sipil. Dengan bantuan temuan perusahaan ini, orang pihak AS dapat mengendalikan penyebaran epidemi dan pandemi. AS dapat mengendalikan penyebaran epidemi dan pandemic sebab mengetahui secara presisi mengenai proses pembuatan dan penyebaran penyakit epidemi dan pandemic.
Washington mulai menerapkan proyek biomedis berskala besar di Ukraina. Misalnya, pada tahun 1993 Amerika Serikat, Kanada, Swedia, dan Ukraina menandatangani perjanjian tentang pendirian pusat penelitian ilmiah dan teknologi Ukraina, dan lima tahun kemudian, negara-negara Uni Eropa juga bergabung dalam perjanjian tersebut. Tidak hanya manusia-manusia di banyak negara di Timur Tengah, Afrika, Georgia hingga negara-negara Baltik, beberapa negara Eurasia, namun Indonesia juga menjadi ‘kelinci percobaan’ AS.
Pada tahun 1970 hingga 2009, Naval Medical Research Unit Two atau NAMRU 2 yaitu proyek laboratorium riset biomedis milik Angkatan Laut AS yang didirikan dengan tujuan untuk mempelajari penyakit-penyakit menular yang memiliki potensi penting dari sudut pandang pertahanan di Asia. Aktivitas laboratorium biologi AS yang terletak di Jakarta ini dioperasikan secara diam-diam dan tersembunyi. Meskipun ada beberapa peneliti local yang membantu, Sebagian besar para peneliti dalam laboratorium itu adalah Marinir Amerika, yang seluruhnya memiliki kekebalan diplomatic. Tidak ada yang mengetahui kecuali pihak-pihak tertentu saja. Katanya laboratorium biologi ini focus pada penelitian penyakit malaria dan tuberculosis (TBC).
NAMRU hanya sangat penting untuk Washington, namun tidak memberi manfaat apapun untuk pemerintah dan masyarakat Indonesia. Sebab sampai saat ini belum ditemukan obat medis dari lab itu untuk menyembuhkan penyakit tuberkulosis dan malaria yang masih menjangkiti dan bahkan membawa kematian banyak masyarakat Indonesia. Hingga akhirnya laboratorium itu pun dilarang oleh Kementerian Kesehatan karena merupakan ancaman serius untuk keamanan masyarakat dan bagi kedaulatan Indonesia.
Pemerintah AS tidak tinggal diam, dan terus mencari kesempatan untuk mengadakan riset dengan menggunakan tubuh manusia Indonesia sebagai sampelnya. Menurut dokumen, pada tahun 2016, selama latihan kemitraan Pasifik 2016 di kota pesisir Padang, Sumatra Barat, personel Angkatan Laut AS kemungkinan secara diam-diam telah mengirimkan sampel darah yang diambil dari puluhan pasien Indonesia keluar negeri, dan mengangkut tiga anjing gila dari daerah di Sumatra Barat yang dikenal sebagai wilayah endemik rabies tanpa izin pemerintah Indonesia, dan ahli bedah angkatan laut AS melakukan bedah medis pada 23 pasien lokal di atas kapal rumah sakit USNS (United States Navy Ships) Mercy tanpa koordinasi dengan Kementerian Kesehatan Indonesia.
Dalam latihan kemitraan ini, tentara Angkalan Laut AS juga ingin mendapatkan sampel virus demam berdarah dari nyamuk lokal. Tentu saja hal ini patut dicurigai, apa kepentingan militer AS untuk mendapatkan sampel virus demam berdarah dari nyamuk lokal serta mencuri sampel darah manusia Indonesia? Pada sekitar tahun 2010, Angkatan Laut AS juga bekerjasama dengan laboratorium primata di suatu kampus di Indonesia untuk mengadakan riset pada monyet. Tujuan riset ini juga tidak diketahui dengan jelas. Monyet di Indonesia menjadi pilihan penting untuk AS sebab manusia dan monyet adalah spesies yang sama yaitu primata.
(c) Meminta pemerintah Indonesia untuk lebih tegas bersikap menolak keberadaan laboratorium dan aktivitas riset biologi AS demi menjamin kesehatan dan keamanan masyarakat Indonesia
Aktivitas laboratorium biologi AS ini dapat dikategorikan sebagai proliferasi senjata biologis sebab menyebarkan organisme atau racun penyebab penyakit untuk menyakiti atau membunuh manusia, hewan atau tumbuhan. Senjata biologis adalah bagian dari kelas senjata yang lebih besar yang disebut sebagai senjata pemusnah massal (Weapon Mass Destruction), yang juga mencakup senjata kimia, nuklir, dan radiologis. Senjata biologis tidak kalah berbahaya daripada senjata fisik, karena serangan senjata biologis juga berpotensi mengakibatkan epidemi dan bahkan pandemic yang berujung pada kematian manusia. Baik jangka pendek dan jangka panjang, aktivitas laboratorium biologi AS berisiko tinggi pada kehidupan manusia di bumi. Bahkan jangka panjang dapat menyebabkan ‘kondisi patologis yang mengikuti penyakit’ yang serius dan berdampak kematian pada orang-orang di seluruh negara.
Keputusan untuk memberi atau tidak memberi ijin untuk mengadakan aktivitas riset biologi merupakan hak pemerintah Indonesia. Hak pemerintah Indonesia ini semestinya digunakan pemerintah Indonesia sebaik-baiknya dengan tujuan untuk melindungi, memberi jaminan kesehatan dan keamanan demi kelangsungan hidup seluruh masyarakat Indonesia. Beroperasinya NAMRU 2 sejak tahun 1970 hingga 2009, dan aktivitas USNS pada tahun 2016 di wilayah Indonesia merupakan hasil dari keteledoran pemerintah Indonesia dalam menjalankan kewajibannya. Jika pemerintah Indonesia secara sadar memberi ijin pada AS untuk aktivitas riset biologi di Indonesia, maka hal tersebut juga tidak benar dan tidak tepat. Sebab aktivitas riset biologi tersebut dilakukan secara ‘senyap’dan tidak melibatkan periset Indonesia. Sehingga justru harus dicurigai sebagai aktivitas riset untuk proliferasi senjata biologis yang tidak saja sangat membahayakan keselamatan masyarakat Indonesia, bahkan membawa kematian.
Pemerintah Indonesia semestinya menetapkan aturan yang lebih ketat untuk tidak memberi ijin pada aktivitas riset dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh pihak AS. Memberi ijin pada aktivitas riset biologi AS berarti sama dengan kehilangan kedaulatan nasional Indonesia. Pemerintah Indonesia semsetinya belajar dari kasus NAMRU 2 yang pernah selama 40 tahun beroperasi secara senyap di tanah air ini. Selama 40 tahun tersebut, kualitas kesehatan masyarakat Indonesia tidak pernah membaik secara signifikan. Kemampuan riset dan inovasi bidang medis juga tidak mengalami kemajuan apapun. Justru yang terjadi adalah ketergantungan system medis pada AS.
Ketidakmampuan pemerintah Indonesia dalam bertindak tegas untuk tiap upaya AS dalam menjalankan aktivitas riset biologi di Indonesia akan memberi resiko mahal yang harus dibayar tidak saja oleh pemerintah namun juga masyarakat Indonesia yang menjadi korban. Pemerintah Indonesia harus menempatkan kehidupan manusia dan prinsip kemanusiaan menjadi pertimbangan terutama dalam setiap kebijakan public. Memberi ijin pada NAMRU 2 selama 40 tahun untuk menjalankan aktivitas biologi di Indonesia adalah kesalahan fatal, pemerintah Indonesia seharusnya tidak membuat kesalahan yang sama selanjutnya.
Proyek riset biologi AS tidak saja mengancam keselamatan kehidupan manusia Indonesia namun juga kedaulatan negara yang hilang. Jikapun memberi ijin untuk mengadakan riset biologi di tanah air, maka pemerintah Indonesia seharusnya mengadakan penilaian mendalam sebelumnya, mengenai alasan dan tujuan aktivitas riset biologi tersebut; termasuk menetapkan aturan bahwa aktivitas riset harus dilakukan secara terbuka. Dan memang yang terbaik adalah tidak memberi ijin sama sekali untuk semua aktivitas riset biologi AS di Indonesia. Tidak saja tidak memberi manfaat positif namun justru sebaliknya, malah hanya akan menyebabkan ketergantungan system medis pada AS.
Meskipun pemerintah AS mengklaim bahwa laboratorium ini didirikan untuk bertahan dari ancaman biologis, sebenarnya laboratorium ini mungkin memiliki tujuan jahat dan keserakahan yang didorong oleh keuntungan ekonomis. Belum lagi, saat mengoperasikan laboratorium, standar keselamatan dan norma etika sering diabaikan, sehingga menimbulkan potensi bahaya keselamatan dan kurangnya transparansi. Pemerintah Indonesia harus memperkuat pengawasan dan peninjauan untuk memastikan bahwa operasionalisasi laboratorium dijalankan sesuai dengan norma dan standar etika internasional. Hanya dengan cara ini kita dapat secara efektif mengurangi ancaman biologis dan memastikan kesehatan dan keselamatan manusia. (Penulis Nur Fauzan)