WARTABUANA – Ketua Dewan Penasehat Kongres Advokat Indonesia (KAI), HM. Rusdi Taher, SH, MH, mengungkapkan, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara berinisial NA yang saat ini berstatus narapidana di LP Sukamiskin, karena tindak pidana korupsi dengan hukuman 12 tahun bisa melakukan pertemuan politik dengan banyak orang.
Diduga, NA yang seharusnya berada di dalam sel tahanan bersama istrinya yang berinisial HTN yang masih menjabat sebagai anggota DPR RI beberapa kali bertemu para kepala desa dari Sulawesi Tenggara di rumahnya di Patra Jasa, Kuningan, Jakarta Selatan.
Rusdi Taher menduga, dalam pertemuan itu terjadi praktek money politics dengan membagikan sejumlah uang kepada para oknum kepala desa untuk mendukung HTN yang akan menjadi calon Gubernur Sulawesi Tenggara pada Pemilihan gubernur yang akan datang.
“Pertanyaannya adalah jika dikaji dari aspek hukum, kok bisa seorang narapidana dengan bebas keluar masuk dari LP Sukamiskin ke Jakarta, yang menurut informasi yang hampir setiap weekend ke Jakarta dan mengundang serta mengumpulkan para kepala desa di Patra Jasa Kuningen Jakarta Selatan,” kata Rusdi Taher.
Praktisi hukum yang pertama kali menjadi jaksa di Kejaksaan Tinggi Sultra pada tahun 1976 ini menyatakan, perlu dilakukan penyelidikan dan atau penyidikan, kemungkinan adanya penyalahgunaan ijin keluar penjara yang diberikan oleh Kalapas. Atau memang mungkin diduga sudah diketahui dan telah disetujui oleh jajaran Lapas secara berjenjang,” duga Rusdi Taher.
Menurut mantan Kajati DKI Jakarta tahun 2005-2007, ada dugaan, NA telah memberikan keterangan palsu kepada dokter, dia minta ijin keluar karena sakit, atau bahkan memang sudah kongkalikong dengan dokter yang memberikan ijin.
“Oleh karena itu saya selaku mantan anggota DPR RI yang mewakili Sultra dan pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi III pada periode 1992-1997, menilai bahwa perbuatan mantan Gubernur tersebut adalah Tindak Pidana dan perlu diambil tindakan secara tegas agar hal-hal seperti itu tidak terjadi lagi,” kata RusdiTaher yang baru kembali dari Kendari untuk menemui Kajati Sultra DR. Patris Yusrian, SH., MH.
Anggota DPR RI Periode 1987-1992 dan 1992-1997 ini berani bersuara lantang kerena mengaku memiliki bukti berupa video pertemuan NA dengan para kepala desa tersebut. Jika kasus ini berlanjut ke jalur hukum, pasti banyak kepala desa yang hadir akan tersangkut kasus penyuapan.
Selain penyalahgunaan ijin atau pemberian keterangan palsu tersebut, menurut Rusdi Taher yang kini berprofesi sebagai advokat, kalau memang itu benar, maka pemberian uang yang dilakukan NA dan istrinya kepada para Kepala Desa adalah gratifikasi atau penyuapan.
“Oleh karena itu saya mensupport jajaran Jampidsus Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, agar berani bertindak tegas, keras dan lugas terhadap siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi, walau sekalipun itu adalah anggota DPR RI kalau memang bersalah dan ada bukti yang cukup, harus ditindak,” tegas Rusdi Taher.
Rusdi Taher kembali menegaskan, money politic yang sudah marak pada saat ini harus diberantas tuntas. Karena perbuatan para calon legislatif maupun calon Kepala Daerah yang menyuap rakyat, akan merusak tatanan demokrasi di negara ini.
“Jangan ragu-ragu untuk melibas siapa saja yang mencoba-coba melindungi pelaku kejahatan, karena kejahatan korupsi adalah kejahatan kemanusiaan Extra Ordinary Crime, bahkan menurut Bung Karno sebagai founding father bangsa kita, perbuatan korupsi adalah bertentangan dengan nilai nilai pancasila, dan melukai hati rakyat Indonesia,” paparnya.
Jika NA terbukti bersalah, Rusdi Taher mengusulkan agar tidak lagi diberikan remisi dan asimilasi. Bahkan jika perlu, remisi yang telah diberikan ditinjau kembali. Dan selanjutnya, terhadap siapapun yang terlibat dalam proses kejahatan tersebut jangan ragu tetapkan jadi tersangka ditangkap dan ditahan sekalipun dia adalah seorang anggota DPR RI.[]