GAZA, Kondisi kehidupan yang sulit di Gaza, wilayah kantong Palestina yang dikepung, tidak menyurutkan semangat penduduknya untuk menyaksikan Piala Dunia FIFA yang sedang berlangsung, yang digelar di Timur Tengah untuk kali pertama.
Omar Baalousha yang berusia 40-an tahun datang ke aula umum Saad Saiel lebih awal, agar bisa mendapatkan kursi barisan depan untuk menyaksikan pertandingan yang ditayangkan di sebuah televisi layar lebar di tengah aula tersebut.
“Di sini, saya bisa merasakan antusiasme penuh dari para suporter lainnya yang bereaksi terhadap setiap gol, seolah-olah saya berada di stadion di Qatar,” kata ayah enam anak itu kepada Xinhua sambil tersenyum.
Baalousha menuturkan bahwa seringnya pemadaman listrik di rumah-rumah warga Gaza dan mahalnya biaya berlangganan saluran olahraga juga menjadi alasan bagi banyak orang untuk pergi ke kafe dan aula umum demi menonton pertandingan.
Piala Dunia yang sedang berlangsung saat ini tidak dapat disaksikan secara langsung oleh orang-orang di Gaza, mengingat blokade ketat yang diberlakukan Israel membuat sebagian besar warga Gaza tidak mungkin bisa pergi ke Qatar untuk menonton Piala Dunia.
Namun, menonton pertandingan menjadi kegembiraan yang jarang terjadi, dan dihargai oleh banyak warga Gaza.
“Momen-momen seperti ini membantu kami melupakan kehidupan kami yang sulit, dan antusiasme warga Gaza terhadap sepak bola telah membuktikan bahwa kami tidak pernah kehilangan cinta kami untuk kehidupan,” kata Baalousha.
Warga Palestina di Gaza telah hidup di bawah blokade ketat Israel sejak Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) menguasai Jalur Gaza pada 2007.
Sementara banyak orang memilih menyaksikan pertandingan di kafe, Abu Mohammed al-Jaal memberikan solusi yang berbeda.
Pria Palestina berusia 62 tahun itu meletakkan televisi di depan rumahnya dan mengundang semua kerabat serta tetangganya untuk menyaksikan pertandingan.
“Ada banyak orang yang tidak mampu membayar biaya makanan di kafe atau bahkan membayar ongkos transportasi untuk pergi ke aula umum yang memutar pertandingan. Jadi, saya punya ide untuk menciptakan suasana gembira di lingkungan saya,” ujar al-Jaal.
“Kumpul-kumpul ini membantu kami melupakan berbagai kesulitan sehari-hari, harga yang tinggi, bensin, listrik, dan hal-hal melelahkan lainnya,” ungkapnya.
“Selama Piala Dunia, kami membicarakan tentang tendangan lucu, ekspektasi, kejutan, dan perasaan kagum,” imbuhnya.
Mohammed Baker, seorang anak laki-laki dari kamp pengungsi al-Shatei di Gaza City barat, juga merasakan suasana pesta sepak bola dunia tersebut saat dia berlari di gang-gang sempit bersama teman-temannya, mencoba “memeragakan kembali” pertandingan yang mereka saksikan pada malam sebelumnya.
“Kami datang ke sini untuk bermain sepak bola, meniru pemain-pemain favorit kami. Suatu saat nanti, kami akan menjadi pemain terkenal tidak hanya di Gaza, tetapi juga di kawasan Timur Tengah,” kata anak berusia 12 tahun itu, yang menyebut dirinya “Ronaladito” untuk menghormati idolanya, ikon sepak bola Portugal Cristiano Ronaldo.
Diproduksi oleh Xinhua Global Service