Sejumlah veteran berjalan di Gurun Taklimakan di Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut, pada 3 Juli 2022. (Xinhua/Li Xiang)
URUMQI, 22 November (Xinhua) — Selama empat tahun, Tian Ye dan tujuh rekan veterannya telah menanam ratusan hektare tanaman penahan angin yang juga mampu menghasilkan uang di Gurun Taklimakan di Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut.
Sejak 2018, Tian dan para mitranya menanam lebih dari 10 varietas tanaman gurun di wilayah Qiemo, Xinjiang selatan, termasuk populus euphratica, rose willow, dan saxoul, yang membentang di area seluas lebih dari 800 hektare.
Foto dari udara yang diabadikan pada 5 Juli 2022 ini menunjukkan sejumlah veteran memeriksa pipa irigasi di Qiemo, wilayah gurun yang berlokasi di Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut. (Xinhua/Li Xiang)
Qiemo, wilayah gurun dengan ekologi yang rentan, mulai mengupayakan sejumlah proyek pengendalian gurun dan aforestasi pada 1998, dan sejak 2003, mengundang sektor-sektor nonpemerintah untuk memanfaatkan sumber daya gurun dan mengembangkan perekonomian lokal.
Pada musim semi tahun 2018, dua tahun setelah pensiun dari dunia militer, Tian mengunjungi Qiemo dan menyaksikan warga setempat menanam pohon di gurun tersebut.
Pada musim gugur, dia beserta dua veteran lainnya mendirikan sebuah perusahaan pertanian ramah lingkungan (eco-agriculture) dan mulai menanam saxouldan cistanche. Cistanche, tanaman komersial yang juga dijuluki sebagai “ginseng gurun”, hidup sebagai parasit pada akar tanaman penahan angin saxoul.
Tian, yang kini berusia 47 tahun, meyakini bahwa menanam saxoul dan cistanchedapat membantu mencegah gurun itu meluas ke wilayah Qiemo sembari meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Dalam beberapa tahun, lima veteran lainnya bergabung dengan perusahaan Tian.
Memelihara tanaman di gurun itu tergolong menantang dari berbagai sisi. “Ini sangat melelahkan. Pada dasarnya, kami merusak sepasang sarung tangan setiap pekan dan sepasang sepatu setiap bulan,” ujar Zhang Hong, salah satu veteran yang berpartisipasi dalam proyek itu.
Para veteran tersebut melakukan investasi besar-besaran dalam upaya penghijauan gurun itu, tetapi memperoleh hasil yang tidak seberapa. Mereka menggelontorkan dana pribadi dan meminjam uang dari keluarga, sahabat, dan bank.
“Kami tidak takut menghadapi kesulitan apa pun. Sudah menjadi mimpi kami untuk menjadikan lokasi ini sebagai tempat yang lebih baik,” tutur Zhang.
Seorang veteran bernama Tian Ye memetik cistanche deserticola, tanaman herbal tradisional China, di Qiemo, wilayah gurun yang berlokasi di Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut, pada 31 Maret 2022. (Xinhua/Su Xin)
Para veteran tersebut telah mengeksplorasi beragam cara untuk menanam lebih banyak tanaman komersial di gurun itu. Tahun lalu, semangka dan kentang ditanam dalam basis uji coba.
Sejak didirikan, perusahaan itu telah mempekerjakan 20 lebih warga setempat yang berasal dari kelompok etnis minoritas.
Upaya para veteran tersebut merupakan bagian dari kampanye pengendalian gurun yang lebih luas di Qiemo. Selama hampir satu dekade, wilayah itu telah mencatat adanya lebih dari 150.000 orang yang berpartisipasi dalam sejumlah inisiatif aforestasi, yang menghasilkan “Tembok Besar hijau” di sekeliling Qiemo.
“Tembok” dengan panjang 23 kilometer dan lebar 1 hingga 7 kilometer itu membentang di area seluas lebih dari 6.000 hektare.
Metode pengendalian gurun seperti menanam cistanche “di satu sisi dapat mempercepat peningkatan kualitas lingkungan dan restorasi ekologi di area gurun, sementara di sisi lainnya mampu membantu menghasilkan uang bagi warga setempat dan mengembangkan perekonomian lokal,” kata Chang Qing, insinyur senior dari Institut Ekologi dan Geografi Xinjiang yang dinaungi Akademi Ilmu Pengetahuan China. [Xinhua]