Direktur Departemen Urusan Fiskal Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) Vitor Gaspar berpartisipasi dalam konferensi pers Pemantau Fiskal di pertemuan tahunan 2021 di Washington DC, Amerika Serikat, pada 13 Oktober 2021. (Xinhua/Foto IMF/Allison Shelley)
“Jadi, apa yang dapat dan harus dilakukan oleh kebijakan fiskal, berdasarkan pengalaman dari pandemi (COVID-19) di mana kebijakan fiskal mampu merespons secara cekatan dan fleksibel, adalah kebijakan fiskal dapat menargetkan mereka yang paling terdampak oleh krisis biaya hidup,” kata Pejabat IMF Vitor Gaspar.
Oleh Xiong Maoling
WASHINGTON, 13 Oktober (Xinhua) — Pada saat inflasi tinggi, pembuat kebijakan fiskal harus menargetkan mereka yang paling terdampak oleh lonjakan harga pangan dan energi, sembari menjaga karakter fiskal yang ketat guna membantu melawan inflasi, demikian disampaikan seorang pejabat Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
“Melawan inflasi dengan sikap tenang, pada saat ini dan dalam pandangan kami, merupakan sesuatu yang menjadi prioritas utama makroekonomi,” ujar Vitor Gaspar, Direktur Departemen Urusan Fiskal IMF, kepada Xinhua dalam sebuah wawancara sebelumnya pada pekan ini.
“Jadi, apa yang dapat dan harus dilakukan oleh kebijakan fiskal, berdasarkan pengalaman dari pandemi (COVID-19) di mana kebijakan fiskal mampu merespons secara cekatan dan fleksibel, adalah kebijakan fiskal dapat menargetkan mereka yang paling terdampak oleh krisis biaya hidup,” kata Gaspar.
Menurutnya, krisis biaya hidup berkaitan dengan “inflasi yang meluas” ini, tetapi memiliki “dimensi yang sangat kuat yang berkaitan dengan lonjakan harga pangan dan energi.”
“Apa yang dapat dilakukan oleh kebijakan fiskal yang tidak dapat dilakukan oleh kebijakan moneter adalah menargetkan pihak yang rentan, dan (kebijakan fiskal) dapat melakukannya dengan cara yang sesuai, dengan menjaga bauran kebijakan makroekonomi yang tepat,” ujarnya.
Dalam Pemantau Fiskal baru yang dirilis pada Rabu (12/10), IMF berpendapat bahwa para pembuat kebijakan harus melindungi keluarga berpenghasilan rendah dari kerugian pendapatan riil yang besar serta memastikan akses mereka pada makanan dan energi, dan mereka juga harus mengurangi kerentanan dari utang publik yang besar dan, dalam menanggapi inflasi yang tinggi, mempertahankan karakter fiskal yang ketat sehingga tujuan dari kebijakan fiskal tidak bertentangan dengan kebijakan moneter.
Harga yang lebih tinggi mengancam standar hidup masyarakat di mana pun, mendorong pemerintah untuk meluncurkan berbagai langkah fiskal, termasuk subsidi harga, pemotongan pajak, dan bantuan langsung tunai. Membatasi kenaikan harga melalui pengendalian harga, subsidi, atau pemotongan pajak akan “sangat mahal” bagi anggaran dan “pada akhirnya tidak efektif,” papar laporan itu.
“Salah satu contoh yang dapat dipertimbangkan adalah membayangkan bahwa Anda memperkenalkan batasan harga domestik atau mekanisme perataan harga, tetapi guncangannya terbukti sangat kuat. Pada akhirnya, Anda harus menghapus batasan harga itu dan membiarkan harganya menyesuaikan,” kata Gaspar.
Direktur Departemen Urusan Fiskal Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) Vitor Gaspar berpartisipasi dalam konferensi pers Pemantau Fiskal di pertemuan tahunan 2021 di Washington DC, Amerika Serikat, pada 13 Oktober 2021. (Xinhua/Foto IMF/Allison Shelley)
“Dan meskipun batasan harga mungkin menekan inflasi untuk sementara waktu, (batasan harga) itu kemudian meningkatkan persistensi inflasi ketika akhirnya Anda harus membiarkan harganya naik,” lanjutnya.
“(Langkah) itu bukannya tidak efektif, tetapi pada akhirnya akan tidak efektif. Jadi, (langkah) itu tidak bekerja untuk jangka waktu yang lama,” ujar Gaspar kepada Xinhua.
Pemantau Fiskal tersebut mencatat bahwa pada saat inflasi tinggi, kebijakan untuk mengatasi harga pangan dan energi yang melambung seharusnya tidak menambah permintaan agregat, sembari mencatat bahwa tekanan permintaan memaksa bank-bank sentral menaikkan suku bunga menjadi lebih tinggi lagi, membuat pembayaran utang pemerintah semakin mahal.
Utang publik global diproyeksikan akan tetap tinggi pada 91 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2022, setelah menyusut dari rekor tertinggi pada 2020, dan tetap sekitar 7,5 poin persentase lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat prapandemi, menurut data IMF.
Negara-negara berpenghasilan rendah sangat rentan, dengan hampir 60 persen ekonomi termiskin berada dalam kesulitan utang atau berisiko tinggi mengalaminya, sebut organisasi multilateral itu.
“Untuk negara-negara berpenghasilan rendah, khususnya di bidang pangan, tetapi secara lebih luas, mereka menghadapi pertukaran (kebijakan) yang sangat mendesak dan menyengsarakan,” ujar Gaspar, seraya mencatat bahwa masyarakat internasional harus mengambil tindakan kolektif guna mendukung negara-negara yang lebih miskin.
Akan tetapi, risiko utang tidak terbatas pada negara-negara berpenghasilan rendah saja, kata pejabat IMF itu. “Ada cukup banyak emerging economyyang memiliki imbal hasil obligasi yang tersebar di kawasan yang juga dianggap sebagai sinyal kesulitan utang atau risiko tinggi kesulitan utang,” ujarnya. “Itu juga sesuatu yang harus menjadi perhatian masyarakat internasional.”
Gaspar mencatat bahwa pada 2022, banyak bank sentral mulai melakukan pengetatan, karena inflasi tetap tinggi, dan kebijakan fiskal juga diperketat, saat pembuat kebijakan menarik langkah-langkah dukungan fiskal yang diluncurkan akibat pandemi.
Vitor Gaspar, Direktur Departemen Urusan Fiskal Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), berbicara dalam sebuah wawancara di Washington DC, Amerika Serikat, pada 2 April 2019. (Xinhua/Liu Jie)
“Bauran kebijakan makroekonomi yang konsisten antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal ini sangat tepat mengingat situasi yang kita hadapi,” ujar Gaspar.
Langkah itu juga membantu kredibilitas proses disinflasi dan mengurangi biaya yang berkaitan dengan proses disinflasi tersebut, tambahnya.
Berbeda dari kebanyakan negara lain, China sedikit melonggar, baik di sisi fiskal maupun moneter, dengan pertumbuhan yang melambat dan inflasi yang menurun, catat pejabat IMF itu.
“Pandangan kami adalah bahwa hal itu pantas mengingat tantangan yang dihadapi China dalam jangka pendek,” ujar Gaspar. “Dan kami percaya bahwa China memiliki ruang kebijakan untuk melakukannya.”
Koreksi harga yang sedang berlangsung di sektor real estat sangat penting, katanya, seraya mencatat bahwa itu harus dikelola dari sudut pandang stabilitas keuangan, tetapi juga relevan untuk keuangan publik, mengingat ketergantungan pemerintah daerah pada penjualan tanah.
Menurutnya, tantangan paling mendesak bagi China adalah transisi ke sebuah model pertumbuhan dan pembangunan alternatif yang “tidak akan terlalu bergantung pada negara-negara lain di dunia, dan lebih bergantung pada potensi dalam negeri.” Selesai