KABUL, Selama 12 tahun, Shah Agha (42) mengemudikan truk untuk perusahaan Amerika Serikat (AS) yang mengangkut pasokan bagi pasukan AS.
Hidup sebagai sopir truk merupakan kepedihan dan penderitaan yang tak ada habisnya. Dia selalu dihantui rasa takut akan kekerasan, baik dari milisi Afghanistan yang menyerang konvoi koalisi maupun dari pekerjaannya sebagai pengemudi pasukan pendudukan AS.
“Sebagai seorang pengemudi pasukan AS dan untuk melupakan ketakutan sehari-hari saya di jalanan, saya biasa mengisap heroin,” kata Agha. “Selalu ada masalah. Saya harus menggunakan sesuatu untuk melupakan penderitaan saya.”
Heroin menjadi masalah besar di Afghanistan. Menurut penduduk setempat, para petani sangat bersemangat untuk memulai kembali penanaman opium dan memproses heroin tepat di bawah pengawasan aliansi informal pasukan asing dan panglima perang regional.
Kerja sama tersebut menjelaskan bagaimana negara itu dapat menjadi negara narkotika selama kehadiran sekitar 150.000 pasukan internasional pimpinan AS. Jumlah pecandu narkoba juga meningkat, yang hanya menambah penderitaan rakyat Afghanistan yang dilanda kemiskinan.
Abu Bakr (19) menjadi kecanduan mengonsumsi tablet K, obat buatan Barat yang umum di kalangan anak muda Afghanistan.
Pada 2015, terdapat sekitar 3,5 juta pecandu narkoba di Afghanistan, menurut Mohammad Dawod Jaihon, Kepala Rumah Sakit Jangalak. “Tahun ini, kami telah memberikan perawatan kepada sekitar 1.700 pecandu narkoba dan memulangkan mereka dari rumah sakit,” ujar Jaihon.
Najibullah Jami, seorang profesor universitas Kabul sekaligus analis politik, mengatakan bahwa “hadiah paling nyata dari 20 tahun kehadiran militer AS di Afghanistan tidak lebih dari kemiskinan, jutaan pecandu narkoba, dan isolasi negara.”
Diproduksi oleh Xinhua Global Service