Oleh : Wina Armada Sukardi
Siapa tidak kenal “legenda hidup” Chirstine Hakim? Peraih sembilan Piala Citra ini merupakan artis dengan getar kharisma tinggi, dan dedikasi besar terhadap profesinya. Tak heran dia dikenal dan dihormati tak hanya di dalam negeri, melainkan juga meluas ke dunia internasional.
Saya mulai melihat perempuan bernama lengkap Herlina Christine Natalia Hakim yang kelahirannya tepat pada hari natal tanggal 25 Desember di Kuala Tungkal, Jambi, ini pertama manakala dia datang ke Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya waktu itu masih muda belia dan berlatih di teater Bengkel Belia ARH sekaligus menjadi penyiar stasion Radio ARH. Sedangkan Christine sudah ngetop.
Saat itu stasion radio ARH berada di komplek TIM paling depan, dekat pintu masuk. Dengan begitu, kami dapat melihat yang datang dan pulang dari TIM. Kala itu saya melihat Christine Hakim datang ke TIM , itupun cuma dari kejauhan saja, dari studio ARH.
Pertemuan langsung saya dengan Christine terjadi di atas pesawat GIA Jakarta – Medan. Maskapai nasional tersebut waktu itu membawa rombongan artis dan wartawan untuk menghadiri acara Festival Film Indonesia (FFI) di Medan. Ketika penyelenggaraan FFI l, setiap tahun masih berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya.
Begitu saya melihat orang yang duduk di sebelah Christine sedang jalan, tanpa izinnya, saya langsung menghampiri Christine, dan duduk di sebelah. Sebagai reporter muda yang kala itu kebetulan menjadi managing editor di majalah berita mingguan FOKUS, saya memakai kesempatan yang ada untuk mewawancarainya. Saat itu saya tidak bertanya kepada soal tetek bengkek personalnya, melainkan langsung masuk ke dalam soal-soal subtansial dan koseptual.
Dalam wawancara itu, saya tidak membawa catatan dan mengingatkan langsung dalam otak. Setiap jawaban Christine, saya uji lagi dengan pertanyaan lain, sehingga wawancara akhirnya lebih menyerupai sebuah dialog.
Saya lihat waktu itu Christine sendiri cukup terkejut dengan cara dan subtansi wawancara dengan saya. Hasil wawancara itu dan kemenangannya kembali di FFI Medan kemudian menjadi laporan utama majalah FOKUS. Foto Christine menjadi covernya.
Boleh jadi waktu itu Christine tidak terbiasa dengan gaya wawancara wartawan seperti itu, yang tak menelan bulat-bulat pendapatnya, apalagi dilakukan oleh wartawan yang masih muda yang belum pernah dikenalnya pula. Belakangan saya tahu, setelah wawancara itu, dia memang bertanya kepada beberapa wartawan lebih senior, siapa diri saya. Kok sudah “sok tahu,” tapi sekaligus juga memberikan pujian.
Buat saya, perkenalan seperti itu berdampak bagus. Setidaknya Christine memulai kenal saya bukan sebagai wartawan kaleng-kaleng, melainkan wartawan yang “ada otaknya.”
Di waktu-waktu berikutnya, sebelum menulis soal film yang dimainkan Christine, saya sering ikut terjun menyaksikan shooting filmnya. Berbeda dengan shooting film kiwari yang sudah memakai teknologi cangih, kala itu shooting masih berjalan lama dan manajerial shootingnya pun belum seefektif sekarang. Akibatnya, shooting sering sampai larut malam. Dampaknya, saya pun terpaksa harus sering “nongkrong” menunggunya dan menyaksikan pengambilan adegan sampai tengah malam. Itu pun kesempatan berdialog demgan Christine cuma minim, lantaran dia konsentrasi shooting.
Waktu itu saya sering ditemani sobat saya, reporter Ipik Tanayo. Kami pergi ke lokasi, jika tidak naik motor saya, naik mobilnya Suzuki Jimmy milik Ipik. Sementara dalam karier kewartawanan saya sudah berotasi dari reporter menjadi redaktur, lalu redaktur pelaksana, wakil Pemred, sampai Pemred dan Pemimpin Umum, bahkan pemilik, sampai kini pun sobat Ipik tetap memilih sebagai reporter. Jadi masih turun ke lapangan.
Waktu itu saya tentu banyak menulis ikwal Christine. Saya, misalnya, menulis sebuah telaah film, tapi khusus ditinjau hanya dari sudut akting Christine.
Saya, sebenarnya, berkeinginan untuk membuat biografi Christine Hakim, maka sejak sudah mengumpulkan kliping (zaman dahulu belum digital) semua terkait Christine, sejak dari awal keterlibatannya di dunia film dan kebudayaan. Oleh sebab itu, saya tahu waktu remaja dia pernah loncat pagar sekolah dan sebagainya. Cuma lantaran berbagai faktor, keinginan tersebut sampai sekarang belum terwujud.
Seiring waktu relasi antara wartawan dan narasumber, lama-lama berubah menjadi relasi perkawanan, bahkan persahabatan. Tak hanya saya pribadi, tapi isteri saya, juga saya ajak berkawan baik dengan Christine. Terkadang mereka malah punya aktivitas tersendiri tanpa kehadiran saya. Umpamanya pergi ke Bali bareng dan lain-lainnya. Tentu saya membedakan mana informasi untuk disiarkan dan mana yang hanya sebatas di lingkungan internal kami saja.
Sekitar satu setengah tahun silam, Christine berjuang untuk sebuah kasus perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI). Dia meminta saya untuk membantunya dari aspek legal. Dia berjanji mengupayakan agar sebagai advokat saya bakal tetap menerima bagian honorarium.
“Emang biasanya loe dibayar berapa sih? “ katanya.
“Wah, loe kan tahu, kalo normal honor gue tinggi. Gak usah dibayarlah. Gue bantu pol. Gampang soal ini,” jawab saya.
“Ah, jangan gitu dong. Entar ada deh gue kasih. Tapi loe jangan mahal-mahal dong ya,” tandasnya.
Saya cuma senyam senyum saja. “Terserah loe aja _deh!”
“Yang penting gue nanti mau selesaikan dulu ke pihak-pihak yang lebih membutuhkan dan berhak,” tambahnya.
Dalam menangani case ini kami berkordinasi dengan intens. Seperti biasa, selain bekerja dengan nalar, Christine juga bekerja dengan instink atau nalurinya yang kuat. Keputusan-keputusan yang secara logika sudah kuat, dapat berubah lantaran nalurinya. Dan hebatnya, instink dia, pada kasus ini, selalu benar.
Seusai kasus itu, saya sebenarnya sudah melupakan soal honorarium. Sejak awal saya memang tak mengharapkan adanya honor. Saya full ikhlas membantunya, apalagi saya faham benar, langkah itu bukan cuma buat kepentingan Christine pribadi, namun menyangkut pula adanya kepentingan perlindungan HKI yang lebih luas, terutama terkait banyak pihak dalam perfilman nasional.
Dalam keadaan seperti itu, eh, dia malah kirim WA ke saya. “Broer nomer rekening loe dong.”
“Untuk ‘rakyat banyak’ yang membutuhkan udah dibagi belum,” tanya saya, yang sebenarnya sebagai upaya mengelak memberi nomer rekening.
“Udah. Udah beres,” tuturnya lagi.
Kendati begitu, saya masih segan memberikan nomer rekening saya. Sejujurnya saya tak mengharapkan honor atau uang apapun dalam proses itu. Christine seorang sahabat sangat dekat, sahabat lama lagi, bagaimana mungkin saya mau meminta honor. Enggaklah ya. Maka saya tetap membiarkannya saja. Siapa tahu, saya mengharap, dia lupa.
Rupanya Christine tetap meminta nomer rekening saya. Semula saya bakal bergeming memberikannya. Saya akan abaikan saja. Kalau perlu saya mau bilang, “Ya sudah ambil aja honor saya buat perfilman nasional.” Belakangan pikiran ini saya ubah.
Saya melihat ada perpektif lain. Dari angle lain. Ini menyangkut pemenuhan komitmen. Ini soal penegakan integritas. Soal pembuktian karakter.
Tentu Christine sebagai sahabat lama, faham benar siapa saya. Dia tahu sekali jumlah honor darinya mungkin bukan sesuatu yang sangat berarti sekali buat saya. Tapi ada sebuah komitmen Christine di belakangnya. Ada sebuah pemenuhan janji di balik itu. Christine sudah berjanji memberikan honor ke saya, berapapun itu nantinya. Dan dia tidak pernah melupakan janjinya. Dia ingin memenuhi janji itu. Dia ingin membayar komitmen itu.
Dari sudut pandang ini, saya menemukan Christine bagaikan burung merpati yang tidak pernah ingkar janji. Dia berjanji dan berupaya maksimal memenuhi janjinya. Itulah karakter.
Maka kemudian saya memberikan nomer rekening saya dengan senang hati, lantaran menghormati komitmennya. Menghargai karakter orang yang selalu ingat janjinya. Seorang yang punya karakter kuat terhadap komitmennya. Setelah memperoleh nomer rekening saya, dia segera melakukan transfer.
Disini pulalah saya melihat janji Christine Hakim kepada saya, tidak terlepas dari karakternya. Dari jiwanya yang berjanji untuk selalu menjaga dan meningkatkan perfilman nasional Indonesia. Janjinya terhadap perfilman Indonesia merupakan sebuah komitmen dari dia.
Aktingnya dalam film nasional bukan hanya sekedar penghayatan terhadap sebuah peran yang diberikan kepadanya dalam sebuah film, tapi merupakan sebuah pertunjukan pelaksanaa komitmen untuk ikut memajukan perfilman nasional. Sebuah bukti pemenuhan janji untuk melibatkan dan membaktikan diri langsung terhadap kemajuan perfilman nasional Indonesia.
Hai Christine, terima kasih.
Tabik.*