Oleh : Wina Armada Sukardi
Di caption (keterangan foto) profil pictures (PP) HP saya tertulis, “Semakin Banyak Memberi, Semakin Banyak Memperoleh.” Sebuah prinsip yang dari segi rasio normatif kedemgarannya kontradiktif atawa saling bertentangan.
Bagaimana mungkin, semakin kita memberi, yang artinya semakin kita banyak mengeluarkan, kok justeru kita semakin banyak memperoleh? Bagaikan sesuatu yang mustahil. Disinilah, di samping logika umum, ada juga logika-logika khusus yang terjdi dalam kenyataan. Terjadi berdasarkan pengalaman. Bukan pengalaman beberapa kali saja, melainkan pengalaman yang berpola terus menerus, dan berulang, sampai akhirnya menjadi sebuah kenyataan: semakin banyak kita memberi semakin banyak kita memperoleh.
Sebenarnya, tema tulisan ini tidak ada dalam daftar rencana tema 30 tulisan yang bakal saya pilih dan 28 tema yang bakal ditayangkan, dua sisanya cadangan, selama bulan puasa. Namun lantaran peristiwanya masih “hangat,” masih aktual, tema kali ini pun memjadi semacam “breaking news,” di antara tema-tema yang sudah tersedia. Tema ini semacam pembuktian kebenaran prinsip itu.
Hari Jumat,15/4/2022 saya berbalas-balasan WA dengan seorang saudara, yang kini bermukim di daerah khusus di Jawa Tengah. Dia menanggapi WA seri tulisan saya tentang “Sang Nenek.” Dia menjelaskan, masih sempat jumpa dengan nenek saya itu bersama adiknya yang dulu masih jadi taruna polisi di Sukabumi. Sebelum dipindahkan ke Semarang, pendidikan akademi polisi memang ada di kota Sukabumi, tempat nenek kami dulu tinggal.
Di ujung pembicaraan WA, dia bertanya, apakah saya dapat membantunya mengganti kacamatanya? Sejatinya, selama ini saya tidak pernah mau lagi memberikan atau meminjamkan uang kepada orang yang mengajukannya melalui WA. Hal ini lantaran sebelumnya saya beberapa kali tertipu orang-orang meminta pertolongan melalui WA. Mereka mengirim pesa dengan nomer dan foto orang yang saya kenal, sehingga saya pikir benar adanya. Makanya saya membantunya.
Belakangan saya tahu, rupanya ternyata nomer dan foto HP orang yang saya kenal itu telah di-hack. Dibajak. Berdasarkan pengalaman itu, kiwari saya sama sekali tak lagi memberi reaksi terhadap sobat, karib, kenalan atau saudara yang meminta pertolongan memijam atau permintaan uang. Takut ketipu kembali. Lagi pula saya pikir, jika memang mereka ada perlu mendesak dan sudah akrab dengan saya, pastilah setelah WA mereka ikuti dengan menelpon.
Kepada semua pihak yang pernah WA ke saya meminta bantuan atau pinjaman, dan kebetulan benar-benar identitas aslinya, alias bukan penipu, namun terabaikan oleh saya, izin, mohon maaf.
Begitu juga permintaan saudara saya ini. Saya tidak langsung meresponnya. Tapi lantaran antara saya dengannya memiliki kedekatan hubungan emosional, saya coba lakukan pengecekan. Dia dahulu sering membantu saya meminjamkan ruang kantornya , setelah jam kerja, buat saya mengetik sesukannya disana.
Padahal dia di kantor itu hanyalah staf biasa. Artinya ada niat dan effort darinya untuk membantu saya bekerja agar bekerja nyaman dan optimal. Beberapa naskah tulisan saya yang di muat di pers pada masa itu, lahir dari proses mengetik di kantornya. Oleh karena itu saya memberikan perhatian khusus kepada WA darinya.
Untuk menyakinkan saya, sekaligus sebagai cross cek, saya tanya untuk apa dan berapa. Saat itu juga dia masih menjawab, untuk kacamata seharga Rp 2 juta. Supaya praktis, dia bilang transfer aja. Dia pun langsung mengirim nomer rekeningnya. Saya bilang saya setuju. Tentu setelah itu saya melakukan cek and recek, benarkah dia saudara yang saya maksud.
Sewaktu saya cek nomer rekeningnya, ternyata tidak dikenal. Tidak bisa menerima transfer. Ketika saya kirim WA menanyakan hal ini, semua WA saya hari itu tidak dijawab. Saya inisiatif menelponnya, melalui wifi, sama sekali tak terjawab. Melalui jaringan biasa, nomernya tidak dapat dihubungi.
Seharian saya coba berkominikasi melalui nomer HP, tak ada tanggapan sama sekali. Saya mulai ragu dan skeptis, jangan-jangan, lagi-lagi, ini penipuan. Kok seharian gak ada tanggapan apa-apa. Akibatnya, Sabtu, 16/4/2022, berlalu begitu saja.
Anehnya, manakala saya cek kepada beberapa saudara lainya, apakah itu nomer saudara yang dimaksud, semua membenarnya. Ya sudahlah, kalau memang ada yang mau menipu, memalsukan identitas saudara saya itu. Toh saya tak tertipu.
Hari minggu, 17/4/2022, masuk telepon dari nomer yang saya tak kenal. Zaman kiwari kalau orang mengirim sesuatu kepada kita melalui ngojek, gosend dan sejenisnya, mereka memberikan kepada para kurir nomer telepon kita sebagai penerima. Mengira kemungkinan dari kurir, saya terima telepon itu. Ternyata dari anaknya saudara saya.
“Maaf Mas. Papah kan pendengarannya sudah rada kurang,” katanya seraya menjelaskan nomer telepon saudara saya yang kemarin dipakai tiba-tiba crash atau rusak total. Sampai mati. Dibawa ke tukang servis, katanya, tetap tidak dapat diperbaiki.
Daftar semua nomer yang di HP itu hilang, termasuk nomer saya Lalu dia berikan nomer baru. “Tapi kalau ada apa-apa yang penting, bisa telepon saya juga,” tambahnya. Dia memberikan nomernya.
“Emang kenapa kacamata Papah?”
“Sebenarnya bulan lalu sudah diperbaiki, tetapi beberapa hari lalu jatuh ke bawah tempat tidur. Udah gak bisa kepakai.”
“Itu nomer rekeningnya kok gak bisa terima transfer. Kenapa?” tanya saya.
“Wah, gak tahu kenapa. Itu nomer rekening pensiun Papah. Selama ini cuma dipakai buat menerima pensiun aja.”
Oh pantas. Rupanya rekening itu selama ini hanya dapat terpakai urusan pensiun saja. Di luar itu belum dapat dipakai. Dan memang oleh keluarga saudara saya tidak pernah dipakai apa-apa lagi selain untuk menerima dan mengambil pensiun.
Saya menjadi yakin memang WA permintaan itu asli dari saudara saya. Makanya saya minta rekening lain. Persoalannya, saudaranya saya cuma punya nomer rekening itu saja. Akhirnya atas usul saya dipakailah nomer dan nama rekening isterinya.
Hari minggu itu, 17/4/2022, sudah magrib. Jadi saya putuskan metransfernya pada senin pagi, 18/4/2022.
Begitu selesai transfer, seperti biasa, saya melupakannya.
Sore Senin itu juga seorang direktur dari perusahaan klien saya menelpon.”Besok bisa datang ke kantor gak?” tanyanya.
“Ada apa,Pak?”
“Kami mau kasih kue,” ujarnya.
Ini bulan puasa, jelang lebaran, jamak saja masyarakat saling mengirim kue dan makanan. Kenapa gak kirim via kurir saja, bukankah praktis dan murah? Tapi saya pikir, sampai sekarang memang masih ada kalangan tertentu yang memberikan kue atau makanan , sebagai sopan santun, merasa lebih afdol memberikannya secara langsung.
“Iya Pak, besok siang jam 2an saya kesana,” jawab saya.
Selasa siang, 19/4/2022, saya datang ke kantor klien. Pemilik dan dirutnya menemui saja di meja rapat. Kami ngobrol ringan sekitar sepuluh menitan. Setelah itu datang salah seorang direkturnya, dan memberikan tas kain warna ungu ke saya. “Ini kuenya,” katanya.
Saya menerima tas kain itu. Langsung tasnya saya periksa. “Kue apa ini?” tanya saya kepo (pengen tahu).
Si direktur tertawa.”Itu bukan kue. Ini honor. Admistrasinya menyusul,” jelasnya.
Saya cuma _nyegir doang.- Pantas kue kok dibungkus amplop coklat besar.
Sampai di mobil, sebelum pulang, saya hitung cepat jumlahnya. Sesuai keterangan direktur tadi yang menyerahkan, jumlahnya: 100 kali dari uang yang saya serahkan ke saudara saya yang membutuhkan. Wah, ini benar-benar kue istimewa bulan puasa.
Lebih dari itu, yang lebih penting lagi, ini satu bukti lagi, semakin banyak kita memberi semakin banyak kita memperoleh. Dan sering pula perolehan balasannya, kontan. Hari Senin,18/4/2022, saya ikhlas membantu orang, besoknya, Selasa 19/4/2022 langsung dibayar kontan 100 x lipat!!!Ya, seperti “kue” istimewa bulan puasa ini.
Tabik*