Oleh : Wina Armada Sukardi
Jika dalam bulan puasa kita pergi ke mall atau plaza untuk berbuka bersama (bukber), apa yang pertama-tama bakal kita lakukan? Mungkin kita sudah reserve jauh-jauh waktu sebelumnya. Jadi kita dapat melenggang ke rumah makannya, karena pasti dapat tempat duduk.
Sebaliknnya, kalau belum reserve, kita bakal cepat-cepat lebih dahulu masuk ke rumah makan kita yang tuju. Mencari tempat duduk. Jika perlu pukul 16-an telah duduk manis disana. Maklumlah kalau tidak begitu, kita khawatir tak akan dapat tempat.
Itu sih wajar-wajar saja. Namun adakah pernah terpikir oleh kita, sebelum kita berbuka bersama, kita memberikan secuil kebahagiaan kepada beberapa atau sedikit kaum pekerja di tempat itu, seperti kepada office boy (OB) atau satuan pengaman (satpam) dan sebagainya? Inilah yang sering saya dan atau bersama keluarga lakukan.
Itu pun, terus terang saja, kami laksanakan jika kami tidak kesulitan memperoleh tempat parkir mobil, sehingga masih ada waktu senggang sebelum buka puasa. Soalnya, kendati sudah berangkat lebih awal, seringkali mall atau plaza pada bulan puasa, dari siang parkirannya sudah penuh, apalagi pasca pandemi covid-19 jenis omicron sudah melandai.
Jika kami beruntung masih memiliki waktu luang, biasanya kami memesan panganan, minum (kopi atau juice) atau makanan berat, beberapa. Sebelum berbuka puasa, kami berikan kepada penjaga toalet, atau OB atau Satpam. Hanya beberapa orang saja yang dapat pemberian dari kami. Itu pun setiap orang hanya satu cup minuman atau satu bungkus makanan.
Terkadang kami memesan makanan dan minumannya lebih dahulu, dan meminta stroke pesanannya yang akan dapat diambil jelang puasa. Stroke itulah yang kami berikan kepada mereka, dan nanti jelang buka puasa mereka dapat mengambil sendiri makanan dan minumannya. Dengan begitu, mereka juga dapat menikmatinya pada saat berbuka puasa.
Tentu, kami lakukan hal ini tanpa ada kamera, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Niatnya tulus ikhlas dan bukan buat promosi. Bukan buat konten media sosial. Apalagi buat ria, ujub atawa pamer kebaikan. Jadi tak ada publikasi sama sekali.
Berdasarkan pengalaman kami, ketika bukan bulan puasa melakukan hal serupa, penerimanya bakal terkejut, nyaris tidak percaya, terharu dan tentu saja sangat bergembira. Wajah mereka begitu berseri-seri.
Itulah sebab setelah makanan minum kami atau saya berikan kepada mereka, saya tidak mau melihat wajahnya. Tidak mau mengingat wajah mereka. Saya bakal cepat-cepat segera pergi meninggalkan mereka.
Lho kenapa? Ada dua hal. Pertama, wajah mereka setelah menerima minum atau makanan dari kami begitu senang. Wajah-wajah yang mengharukan. Kata orang Jawa Barat nyaredet hate. Memilukan. Wajah-wajah yang dapat membuat hati kita meleleh. Daripada kita ikut terharu, dan apalagi sampai meneteskan air mata, lebih baik kita tak usah melihatnya.
Alasan kedua, dan ini alasan utama yang lebih penting, saya tidak mau mengetahui atau sampai teringat siapa orang yang pernah saya beri makanan atau minuman seperti itu. Apalagi mau menghafal wajahnya. Jika kami sampai mengingat wajah mereka, kemungkinan besar kami dapat bakal sering bertemu dengan mereka kalau pergi ke mall dan plaza. Atau dimana pun.
Secara psikologis hal itu akan menggiring kami, khususnya saya, untuk juga teringat pernah memberikan mereka makan atau minum. Mengingatkan lagi kami pernah berbuat baik kepada mereka. Hal ini mau tidak mau, langsung atau tidak langsung , membuat kami akan merasa pernah berbuat baik kepada mereka.
Lebih lanjut, boleh jadi kami menjadi merasa, kami lebih baik dari mereka. Meski cuma secuil biji buah, bukan gak mungkin ada rasa arogan, sombong dan hebat dalam diri kami, suatu waktu kami pernah dapat memberi bantuan kepada mereka. Padahal justeru itu yang kami, khususnya saya, tidak mau. Munculnya rasa telah menjadi “pahlawan” itulah yang jauh-jauh kami hindari.
Saya ingin menerapkan prinsip, kalau tangan kanan memberi, sejauh mungkin tangan kiri tak perlu tahu. Kami ikhlas. Kami ridho. Sepenuhnya. Kami tak ingin ada secuil pun ingatan kami telah berbuat baik, apalagi mengetahui dan menghafal orangnya.
Kalau kami pernah memberikan makan atau minum, kami ingin langsung seketika melupakan kebaikan yang pernah kami lakukan tersebut. Biarlah itu urusan saya dengan Tuhan saja. Dengan Allah.
Dengan demikian, jika saya berjumpa mereka, saya tidak tahu itulah orang yang pernah bergembira menerima sedikit makanan atau minuman dari kami. Oleh sebab itu, waktu ketemu mereka lagi kami tak kenal, dan perasaan kami biasa saja. Sebaliknya jika mereka yang mengingat kami, itu bukan urusan kami, dan tidak dapat kami cegah.
Saya ingin belajar, ketika memberikan kebaikan tak perlu merasa telah berjasa. Tak perlu merasa hebat. Tak perlu merasa saya lebih baik dari orang itu. Maka, kita tak perlu lagi mengetahui kepada siapa kita telah melakukan kebaikan. Apalagi sengaja sampai orang lain mengetahuinya. Itu bagian ketaqwaan kita kepada Tuhan. Kepada Allah. Bukan untuk ketahui oleh siapapun, termasuk oleh ingatan kita sendiri sekalipun.
Kalau pun kini saya tulis, hanyalah untuk membagi salah satu cara berbuat baik saja. Bukan supaya diketahui kami telah berbuat baik. Kalau pun sampai ada kesan tulisan ini masih seperti itu, “Ya Allah ampuni saya!”
Maka itulah sebabnya, setelah melaksanakan kebiasaan itu, kepada penerimanya , kami perlakukan seperti sejenis judul-judul lagu pop, “Aku Tak Ingin Mengingat Wajahmu Lagi…”
Tabik!*