Oleh : Wina Armada Sukardi
“Pak, maaf, ada orang gila mau ketemu Bapak!” kata sekretaris saya dari depan pintu ruang kerja, ketika saya menjadi direktur utama perusahaan yang menaungi penerbit Harian Merdeka.
“Orang gila?” tanya saya tak percaya , sekaligus ingin memastikan.
“Iya betul Pak. Cuma dia tahu nama Bapak, dan katanya mengenal baik Bapak!”
Saya mengerutkan kening. Ada orang gila kenal saya dan mau ketemu saya? Apa gak salah? Saya berpikr sejenak sambil menduga-duga siapa orang itu. Tapi saya tak dapat mengira siapa dia.
Tadinya saya mau menolak kedatangannya, namun cepat saya batalkan. Kalo “orang gokil “ itu, sebutan kaum muda zaman saya muda untuk orang gila, mengaku kenal dengan saya, setidaknya dia tahu siapa saya. Dan kalau dia sampai mau ketemu, kendati sama sekali tanpa janji, dia pasti ada perlu dengan saya. Walaupun waktu itu sudah ada HP, tetapi belum semasif sekarang pemggunaannya. Jadi mungkin dia tak dapat membuat janji dengan saya.
Apapun keperluan “orang gila” ini, pasti dia merasa penting ketemu saya.
“Yah udah suruh masuk, “ jawab saya.
“Tapi minta dua satpam jaga-jaga di depan pintu. Kalau ada apa-apa suruh mereka langsung masuk. Kalau gak ada apa -apa dalam 10 – 15 menit minta mereka kembali ke posnya,” sambung saya. Bagaimana pun, saya harus tetap waspada menjaga segala kemungkinan.
Tak lama kemudian sekretaris saya mengantar seorang lelaki ke ruang kerja saya. Benar, kata sekretaris saya, orang ini layaknya orang gokil: rambutnya gondrong awut-awutan, tak disisir.
Busananya semaunya aja. Pakai sandal butut pula. Mungkin juga sudah beberapa hari tak mandi. Tapi untung tak seberapa bau.
Saya memandang dirinya dari rambut atas sampai ke kakinya. Lalu memandang tajam ke arahnya.
“Win,” katanya perlahan dan ragu, menyadarkan saya.
Suaranya seperti pernah saya kenal. Tiba-tiba saya ingat….Ibud, begitu saja kita panggil dia, karena ini bukan nama sebenarnya. Dialah sahabat saya dari kecil. Dia tetangga dekat depan rumah kami.
Seingat saya, sewaktu saya kecil, Ibud paling sering berkelahi dengan saya. Kami saling kalah menang. Terkadang dia menang dan saya kalah, tapi sebaliknya terkadang juga saya yang menang dan dia kalah. Sekitar dia sampai empat hari setiap kali setelah berkelahi, kami berbaikan lagi.
Setelah remaja kami terus bersahabat dan tentu sudah hampir tak pernah berkelahi kembali.
“Ibud ?” ujar saya sambil menghampirinya, dan memeluknya. Dia langsung berbalik memeluk saya.
“Ayo duduk, Bud!” ujar saya seraya mempersilahkannya duduk. Tanpa canggung dia duduk di kursi di hadapan kursi saya. Nyantai.
Setelah berbasa-basi saya bertanya kepadanya, “Apa yang bisa gue bantu Bud?”
“Ah, kagak ada. Gue kesini bukan mau minta bantuan loe. Gue cuma mau ketemu elo doang,” katanya.
Saya hanya nyengir saja. Maklumlah waktu itu banyak kenalan yang datang bertamu cuma minta bantuan, dan kalau tak diberi langsung menebarkan fitnah dan permusuhan. Tapi Ibud lain.
“Kalo duit secukupnya, gue sih ada. Gak pernah kekurangan amat,” tandasnya seakan faham jalan pikiran saya.
Saya tanya dia sudah pensiun atau kerja apa selama ini.
“Ah, kaya kagak tahu aja gue gak kerja resmi. Mereka pada jiper (takut) ama gue, jadi pada diminta atau kagak diminta, mereka kasih duit ke gue. Hehehehe …..” jelasnya.
“Jadi loe tinggal dimana sebenarnya?” tanya saya lagi.
“Ya dimana aja di sekitar Cikini. Orang-orang juga pada kasih kalo gue pas mau mandi dan lain-lain. Kalo mau tiap hari juga boleh,” jawabnya ringan. “Mereka kan pada kenal gue.”
“Oohhh….”
Saya kini faham. Ibud pastilah menjadi preman di kawasan sekitar kami dulu tinggal. Dari seputar daerah bioskop Megaria sampai seputar kantor pos Kali Pasir. Dia salah satu “jagoan” yang tak takut mati, sudah tak takut polisi (karena udah keseringan “ditangkap”), tak takut dengan orang lain, bahkan boleh jadi tak takut kepada dirinya sendiri. Makanya lantas saya tanya, dimana seorang teman yang dulu juga terkenal jadi preman.
“Dia udah mati. Ditusuk,” jawab Ibud.
Lalu saya tanya lagi ikhwal seorang teman kami lainnya.”Dia juga udah mati, kebanyakan nyuntik,” jelasnya tanpa ekspresi. Datar saja. Pada masa itu “nyuntik” maksudnya memakai narkoba yang disuntik.
“Sori Win, gue kayak gini. Tapi loe kan tahu, dari dulu gue orangnya senengnya kayak gini,” tambahnya.
“Iya tadi sampai sekretaris gue bilang, ada orang gila mau ketemu gue…” ujar saya.
Dia tak marah dan malah ketawa keras.
Menjawab pertanyaan saya, dia mengungkapkan keluarganya semua telah pindah dari daerah sekitar rumah kami dulu. Ada yang ke Bekasi, Depok dan lain-lain. “Tapi gue udah hampir gak pernah ketemu mereka lagi,” tambahnya.
Keluarga Ibud sepemahaman saya, berantakan. Ibunya seorang guru yang mengajar di SD (Cidurian) yang letaknya seblok di belakang rumah kami. Bapaknya, mohon maaf, demen wanita. Dia memiliki anak dari beberapa wanita lain di luar ibu kandung Ibud, baik yang dikawini maupun tidak. Boleh jadi Ibud frustasi dan akhirnya memilih hidup total di jalanan. Total jadi preman Cikini.
Saya tawari makan, dia tidak mau. Akhirnya kami ngobrol lepas sampai tertawa-tawa saja, walaupun terus terang beberapa perkataannya memang tidak nyambung dengan topik yang sedang kami bicara. Artinya dalam beberapa aspek dia memang gokil beneran. Tapi sebagai sahabat saya mafum saja.
Dia nampak bahagia. Penerimaan saya apa adanya membuat dirinya merasa seperti waktu kami kecil: bersahabat. Persahabatan yang kekal.
Waktu dia pamit, saya sengaja berjalan berdampingan dan saling menggenggam tangan. Saya antar dia sampai pintu keluar. Karyawan bingung melihat pimpimann mereka berjalan dengan “orang gila.”
Ibud merasakan benar persahabatan kami yang sudah terputus sekitar 40 tahun masih terus tersambung. Persahabatan yang tak melihat status apapun. Persahabatan sejati yang murni.
Sambutan saya yang hangat rupanya menyentuh hati preman Cikini ini. Jiwanya yang biasanya dilingkupi banyak kekerasan kali ini bergetar. Hatinya benar-benar tertusuk rasa haru. Rupanya preman gokil juga punya perasaan yang memerlukan pengakuan.
Saya lihat di kedua sudut mata Ibud, berlinang air mata….Saya pura-pura tak memperhatikannya.
Setahun atau dua tahun kemudian, saya mendengar kabar dia meninggal dunia.
Tabik.*