Oleh : Wina Armada Sukardi
Hari pertama tahun 2022, teman saya, Sanny Suhaldi, ahli teknologi dan industri sekuriti, datang ke villa tempat kami menginap di daerah sekitar Bogor. Ketika sudah mau pulang, tiba-tiba dari mobilnya dia mengeluarkan dua buah sajadah tebal merek Dunlopillo berwarna coklat dan bermotif warna keemasan.
“Waktu itu sedang ada diskon 50%. Jadi saya beli dua,” kata lelaki asal Muntok, Bangka dan beragama non muslim itu terus terang. “Saya beliin dan kasih buat Pak Wina sama isteri,” tambah Presiden Persatuan Drone wilayah Asia ini. Pemberian itu saya terima dengan suka cita, sebagai suatu apresiasi mendapat sajadah dari seorang sahabat yang non muslim.
Segera setelah Sanny pulang, pemberian ini langsung mengingatkan saya kepada kisah saya sendiri yang ingin memberikan sajadah kepada orang yang saya kenal.
Peristiwannya, dalam suatu acara penataran untuk para kritikus film, sebelum pandemi covid-19 berlangsung, saya jumpa Prof. Salim Said. Pendiri dan mantan wartawan majalah berita Tempo ini saat itu bertindak sebagai salah satu narasumber.
Di luar acara resmi penataran, dengan saya dia berbicara banyak hal, mulai situasi peta politik mutahir saat itu sampai perkembangan produksi serta mutu karya film Indonesia. Di sela-sela pembicaraan itu, kami bicara pula soal usia dan kesehatan.
“Usia seperti saya ini, kalo sholat, harus benar-benar konsentrasi, karena sudah sering lupa rakaat keberapa,” katanya.
“Oh gitu ya?”
“Iya. Makanya apakah Wina tahu atau bisa usahakan dapat sajadah yang bisa memberitahu kita waktu sujud pada rakaat keberapa,” tanyanya.
“Oh, ada,” sambut saya tanpa ragu. “Setahu saya sudah banyak dijual.”
“Tolong cariin, nanti saya ganti biayainya.”
“Oh pasti bisa dong, “ jawab saya cepat penuh keyakinan. “Untuk Pak Salim, saya akan carikan dan gak perlu bayar. Present dari saya,” tandas saya.
“Makasih Wina,” balas Salim.
Besoknya saya langsung mencari sajadah yang dimaksud, baik melalui on line maupun datang sendiri ke pusat-pusat penjualan sajadah. Tak lupa saya bertanya-tanya kepada kawan-kawan yang mungkin mengetahuinya.
Di luar dugaan, waktu itu ternyata masih sangat sulit menemukannya. Berbeda dengan sekarang yang sudah mudah diperoleh dimana-mana. Walhasil, Kendati telah berupaya maksinal, ternyata saya tak dapat juga sajadah jenis itu.
Dan setahun lewat sejak itu, saya masih belum mendapatkan sajadah yang dimaksud. Hampir satu setengah tahun kemudian saya baru memperolehnya. Wah, senang hati ini memperolehnya. Dengan antusias saya saya telepon Salim Said untuk mewartakan : saya sudah memperoleh sajadah yang dia perlukan. Saya sudah membayangkan betapa dia bakal antusias menyambutnya.
Kenyataannya? “Udah gak usah,Wina,” jawabnya di telepon membuat saya bagai kena petir di siang bolong. Ada apa rupanya? Apakah dia marah dan kesal lantaran lama tak ada kabar dari saya? Ataukah dia sudah dapat dari orang lain lebih cepat? Saya yang kaget dengan jawabannya tak berani bertanya soal ini.
“Saya sekarang sudah sholat di atas kursi, dan tidak membutuhkannya lagi,” ungkapnya seperti faham beberapa pertanyaan yang bergelajut di pikiran saya.
Ada rasa sesal mendalam di hati ini, kenapa saya tak berhasil memberikan sajadah yang diperlukannya pada waktu diperlukan. Apalagi ini untuk kedua kalinya saya gagal memenuhi janji memberi sajadah kepada orang.
Adapun yang pertama terjadi pada tetangga depan satu dua rumah dari saya. Ada sepasang kakek dan nenek penghuni rumah itu, namanya Pak Latief dan Bu Latief. Kami sering jumpa di depan rumah, atau terkadang kami berkunjung ke rumahnya.
Merasa sebagai tetangga dekat, Bu Latief sering mengeluh soal kesehatannya kepada saya. Misal karena tua sering “sakit ini “dan “sakit itu.” Saya mendengarkannya saja. Terkadang kalau dia perlu obat tertentu yang saya tahu, saya belikan. Bukannya karena dia tak mampu tapi sebagai rasa hormat tetangga yang lebih muda dan yang mobilitasny lebih tinggi.
Satu pagi dia bilang, dia kalau duduk dan sujud waktu sholat, kakinya, terutama dengkulnya sudah sakit.
“Oh nanti saya kasih sajadah yang tebal. Cocok untuk orang tua. Jadi kalo duduk dan sujud gak sakit,” ujar saya.
“Oh ada ya?”
“Iya ada. Nanti saya cariin dan saya anterin ke rumah.”
Sewaktu tak lama kemudian saya dan isteri bertamu ke rumahnya untuk membawa obat, dia mengingatkan lagi soal sajadah itu. “Ibu tunggu ya sajadahnya! “ katanya kepada kami.
Makanya kala itu kami langsung mencarinya dan sudah memperoleh informasi dapat diperoleh dimana, bagaimana aja jenis produk dan harganya. Nanmun lantaran kami agak sibuk, kami menunda membelinya. Ada mungkin sekitar sebulan.
Beruntung, tanpa diduga, sehari sebelum kami berencana pergi membeli ke toko tempat sajadah yang tebal, kami dapat kiriman dua sajadah tebal. Satu warna hijau, satu warna hitam.
Kami tenang. Isteri bilang yang hitam akan kami segera berikan kepada Bu Latief, sedangkan yang hijau akan dipakainya. Rencananya sajadah itu besoknya, atau paling lambat lusanya, akan kami hantarkan ke rumah Pak dan Bu Latief, sekalian dengan kue-kue dari Khong Guan. Kan tinggal jalan kaki saja beberapa langkah aja.
Lagi-lagi kami terbentur kesibukan. Setelah seminggu, sajadah masih ada pada kami alias belum terkirim. Akhirnya saya dan isteri cocokan jadwal, lalu kami putuskan tiga hari ke depan kami bakal kami bawa dan serahkan sajadah itu.
Manusia merencanakan, Tuhan menentukan. Dua hari sebelum sajadah diserahkan, Bu Latief meninggal dunia. Sajadah yang sudah ada pada kami tak tersampaikan..
Tentu pastinya ada sesal mendalam pada diri kami, dan sampai kiwari soal ini masih sering jadi bahan pembicaraan saya dengan isteri.
Saya menjadi belajar, jika ingin berbuat baik jangan terlalu menghumbar janji, dan wujudkanlah niat baik secepatnya. Jangan ditunda. Menunda melaksakan niat baik menyebabkan niat itu belum tentu dapat terlaksana.
Tabik!*