WARTABUANA – Faridawati, nasabah Bank BNI Cabang Bukit Tinggi merasa ter-dzalimi. Pengusaha itu dituding wanprestasi kredit sehingga tanah dan rumahnya terpaksa berpindah tangan melalui proses lelang, sementara kasus hukumnya masih dalam proses banding. Atas musibah ini, wanita berusia 63 tahun itu akan mengadu ke Komisi I DPR RI, Watimpres, hingga ke Presiden Jokowi.
Faridawati harus kehilangan rumah dan tanah di Simpang By Pass Pakoan Jorong Aro Kandikir, Kanagarian Gaduik, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat setelah dieksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Bukittinggi pada Kamis (4/11/2021) lalu.
Kisah pilu ini berawal dari perjanjian kredit antara Faridawati dengan bank plat merah itu. Zamzami selaku pimpinan BNI Cabang Bukit Tinggi menuding Faridawati telah melakukan wanprestasi dalam melunasi sisa pinjaman kreditnya.
Menurut Faridawati, pada pertengahan Maret 2019, ia dan anak lelakinya, Bob Trivano telah mendatangi Zamzami untuk bernegosiasi karena Perjanjian Kredit harus diperbarui pada bulan April 2019.
“Tujuan negosiasi, karena kami tidak ingin melanjutkan lagi Perjanjian Kredit. Kami hanya ingin mengangsur Pokok Pinjaman setiap bulan sambil menunggu terjualnya aset kami untuk melunasi semuanya,” ungkap Faridawati.
Namun menurut Faridawati, pihak bank hanya memberi dua opsi, yaitu Perjanjian Kredit tetap dilanjutkan, atau Membayar Lunas utang sebesar Rp 2,9 Miliar.
“Jadi belum ada kata sepakat. Dan sejak bulan Mei 2019 tidak ada pembayaran karena pihak bank tidak mengizinkan kami mengangsur pokok pinjaman sampai bulan Januari 2020,” cerita Faridawati.
Namun, pada tanggal 14 Februari 2020 Kepala Bagian Kredit BNI Cabang Bukit Tinggi mendatangi Faridawati untuk memberitahukan bahwa sudah boleh mengangsur Pokok Pinjaman.
Akhirnya Faridawati menyanggupi untuk mengangsur Pokok Pinjaman sebesar Rp.140 juta. Namun, ketika dia menyetorkan angsuran pokok tersebut, Kepala Bagian Kredit tidak memberikan tanda terima resmi dari bank. “Katanya belum adan dalam sistem,” ujar Faridawati.
Setelah didesak, akhirnya Kepala bagian Kredit itu memberikan surat yang menyatakan bahwa Faridawati telah mengangsur pokok pinjaman sebesar Rp.140 juta dan meminta tambahan setoran hingga Rp.1 Miliar sebelum tanggal 28 Februari 2020 dan melunasi piutangnya paling lama pada tanggal 28 Desember 2020.
Akibat dampak Covid-19 pada Februari 2019, penghasilan dari toko sepatunya merosot tajam. Untungnya, awal Oktober 2020 salah satu aset Faridawati terjual. Hasil penjualan itu digunakan untuk membayar pinjaman sebesar Rp 1,7 Miliar.
“Ternyata kami dapat kabar jika kredit kami dinyatakan sudah lunas dan rumah kami yang menjadi agunan sudah terjual melalui lelang pada bulan Juli 2020. Bahkan sudah dibalik nama tanpa sepengetahuan kami,” tegas Faridawati.
Sedang Banding, Tetap Eksekusi
Meski perkara Faridawati masih dalam proses pengadilan karena tengah melakukan upaya banding, tampaknya eksekusi menjadi jalan terakhir bagi penyelesaian kasus tersebut.
Menurut Humas PN Bukittinggi eksekusi yang dilakukan itu merupakan hasil keputusan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang ( KPKNL) terhadap tanggungan yang dijaminkan debitur. Hak tanggungan hasil lelang oleh KPNL itu sudah memiliki kekuatan hukum tetap sehingga pemenang lelang mengajukan aanmaning ke Pengadilan Negeri Bukit Tinggi.
Kemudian pihak Faridawati menunjuk Didi Cahyadi Ningrat & Rekan untuk mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada BNI Cabang Bukittinggi, KPKNL Kota Bukittinggi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Agam, dan Yolanda Yohanes Chandra, pemenang lelang.
Gugatan dilayangkan karena telah menimbulkan kerugian yang menghilangkan hak Para Penggugat atas objek perkara a guo dimana perbuatan Para Tergugat :
- Bahwa Pengugat I dan II adalah merupakan pasangan Suami dan Istri dan sekaligus Pemilik atas Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 66 M2 atas nama Faridawati dengan Surat Ukur Nomor 165/1992 Tanggal 10 Maret 1992 selua 2.830 yang terletak di Jorong Aro Kandikir, Kanagarian Gaduik, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat.
- Bahwa Penguggat I dan II juga merupakan nasabah dari Tergugat I sejak tahun 1982 sampai 2016 yang secara kontinyu melakukan transaksi kredit dengan Tergugat I sesuai dengan kebutuhan untuk menjalankan usahanya.
- Bahwa dalam proses kredit yang sedang berjalan, pada tahun 2008 petugas Tergugat I datang menemui Pengugat I dan II agar kiranya dapat menukar Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor: 183 atas nama H.Eviarons yang terletak di Kelurahan Tarox Dipo, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi yang merupakan jaminan kredit Penggugat I dan II karena telah habis masa berlakunya dan harus dilakukan proses perpanjangan.
- Bahwa kemudian Pengugat I dan II menyerahkan 3 buah Sertifikat Hak Milik atas nama Pengugat I dan II yang mana nilai objek tersebut secara materil melebihi dua kali lipat dari nilai pinjaman / liquiditas kredit kepada tergugat I, namun semua itu ditolak oleh Tergugat I dengan alasan yang tidak logis, serta tetap meminta agar dapat menyerahkan pengganti jaminan kredit tersebut tetap adalah Sertifikat milik Faridawati.
Menurut M.Reza Putra, SH, MH, CIL, praktisi hukum dan pegiat HAM yang juga Ketua Umum YLBH Pusbakum Satria Advokasi Wicaksana, bila upaya hukum sedang dilakukan dan prosesnya masih berjalan di pengadilan memang sudah selaiknya tidak diperbolehkan adanya tindakan hukum lain, sebelum adanya putusan tetap.
“Eksekusi pun demikian, tidak bisa dilakukan sebelum adaya keputusan tetap, terlebih proses lelangnya itu sendiri tidak transparan dan merugikan pihak debitur. Sebaiknya dilakukan pengusutan, sehingga nanti ketahuan siapa sebenarnya yang bermain dalam perkara ini, “jelas M.Reza Putra.
Reza menambahkan, meski pengadilan berhak memutuskan, dan menilai suatu perkara namun pada hakekatnya harus berpedoman kepada kebenaran dan keadilan yang didasari bukti-bukti dan faktafakta yang ada, bukan sebaliknya.
“Kami berharap, ke depannya kasus seperti ini tidak terulang lagi di wilayah lain, karena selain merugikan debitur juga akan menimbulkan rasa kurang percaya masyarakat terhadap bank, terutama yang berurusan dengan kredit. Karena kasus-kasus seperti ini bila dibiarkan akan merugikan wibawa hukum dan penegak hukum di masyarakat, yaitu akan kehilangan kepercayaan,” pungkas Reza.
Pihak Faridawati telah merencanakan upaya mengadukan persoalan ini ke beberapa instansi terkait seperti Komisi I DPR RI, Watimpres, bahkan ke Presiden. “Negara kita ini negara hukum. Bahkan presiden Jokowi selalu menyampaikan tentang penegakan hukum yang tidak tebang pilih. Jadi saya yakin masalah ini akan menjadi perhatian presiden,” harap Faridawati.[]