URUMQI, Lu Bingjian mengelola sebuah perusahaan produksi budaya dan kreatif di Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut. Pasir perak dari Gurun Taklimakan yang disimpan di halaman rumahnya merupakan bahan penting bagi produk-produk terlaris perusahaannya.
Pada September lalu perusahaan Lu meluncurkan kotak buta (blind box), sebuah wadah tembikar yang diisi pasir, jam pasir kosong, dan beberapa biji kapas.
“Kerajinan tembikar Uighur merupakan salah satu proyek warisan budaya takbenda di Xinjiang. Para pelanggan dapat menemukan sejumlah benda yang kami kubur dalam wadah tembikar, yang merupakan duplikat peninggalan budaya terkenal yang digali di Xinjiang. Pasirnya dapat didaur ulang untuk dijadikan jam pasir, sedangkan biji kapas dapat ditanam dalam tembikar sebagai perlambang masa depan yang cerah,” ujar Lu.
Xinjiang merupakan basis produksi kapas berkualitas tinggi terbesar di China dan produsen kapas yang penting di dunia.
Produk-produk kreatif yang berhubungan dengan warisan budaya takbenda dan budaya tradisional seperti blind boxitu telahmerebut hati para konsumen muda. Perusahaan tersebut menerima respons positif dari para pelanggannya yang memuji produk misterius itu, tutur Lu.
Tim Lu terdiri dari para ilustrator, desainer, dan copywritermuda di Xinjiang.
“Kaum muda memiliki pemahaman dan perasaan yang unik terhadap budaya lokal dari berbagai kelompok etnis, yang akan menjadi daya pendukung penting bagi industri budaya dan kreatif di Xinjiang di masa mendatang,” imbuh Lu.
Seni yang unik itu hampir punah sebelum berdirinya Republik Rakyat China pada 1949. Berkat upaya tak henti dari pemerintah, serta seniman rakyat setempat, seni tersebut tetap bertahan hingga sekarang.
Pada 2005, Seni Muqam Uighur Xinjiang China telah disetujui oleh UNESCO sebagai “Mahakarya Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Takbenda”.
“Saya mulai belajar memainkan tanbur(sejenis alat musik petik) pada 1991 dan terpilih sebagai pewaris tingkat wilayah dalam sebuah kontes pada 2005. Saya mulai mendapatkan subsidi bulanan sebesar 800 yuan (1 yuan = Rp2.252) pada 2008,” kata Molakadir Yaya (40), seorang seniman Muqam di wilayah Shache, Xinjiang selatan.
Wilayah Shache dikenal sebagai kampung halaman Dua Belas Muqam, dengan seorang pewaris tingkat nasional, seorang pewaris tingkat regional, dan 23 pewaris tingkat wilayah.
Melalui upaya bersama, wilayah itu telah mendirikan sebuah pusat untuk membantu perlindungan dan mempromosikan seni Muqam, serta memfasilitasi penelitian, pertukaran, dan pertunjukan.
Selain dari kalangan warga Uighur, seni Muqam Uighur juga menarik minat kaum muda dari kelompok etnis lainnya.
Wang Jiangjiang, yang berasal dari etnis Han, mempelajari pertunjukan dan komposisi musik opera di Milan, Italia, sebelum bepergian ke Xinjiang pada 2010. Dalam perjalanannya, Wang mengetahui tentang seni Muqam Uighur, dan langsung menggemari seni tersebut.
Wang mengabdikan diri untuk bepergian ke seluruh wilayah itu guna merekam seni tersebut selama satu dasawarsa lebih. Dia telah mewawancarai para penampil dan merekam pertunjukan yang disuguhkan oleh lebih dari 3.000 pewaris Seni Muqam Uighur Xinjiang, termasuk Iiham Rayim.
“Seni Muqam Uighur Xinjiang meliputi nyanyian, tarian, serta musik rakyat dan klasik. Sangat sulit bagi seseorang untuk menghafal semuanya, jadi karena itulah saya merekamnya,” tutur Wang.